Jumat, 06 Januari 2017 14:10 WIB

Hakim Kasus Penistaan Agama Tak Bisa Diintervensi Badut Politik

Editor : Rajaman
Laporan: Evi Ariska

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Pengamat Hukum dari Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Jakarta, Petrus Bala Pattyona menyakini independensi dan integritas para hakim menanggani kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak mungkin diintervensi oleh badut-badut politik.

"Mengikuti persidangan Ahok banyak kelucuan, dinamika, masyarakat menjadi tercerahkan, bagaimana para akrobat mempelihatkan kemahiran, kemampuan, gayanya, dan bahkan ada yang dipermalukan dalam sidang. Namun satu hal yang jelas, persidangan Ahok menjadi pelajaran berharga dalam penegakan hukm dan bagaimana politik dipergunakan dalam proses hukum untuk menjatuhkan lawan-lawan politik," ujar Petrus, Jumat (6/1/2016).

Petrus menilai, 4 saksi dihadirkan JPU pada persidangan, Selasa (4/1/2017) lalu dalam praktek peradilan tak dapat dipertimbangkan hakim untuk menyatakan bersalah atau tidak bersalahnya seorangterdakwa. Sebab, mereka bukanlah Saksi.

"Dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan Keterangan Saksi adalah apa yang dialami sendiri, mendengar dan melihat suatu peristiwa dengan menyebutkan alasan pengetahuannya," tuturnya.

Dengan demikian, smabung Petrus, saksi hanya mendengar cerita, penuturan tentang suatu peristiwa dari orang lain termasuk kategori keterangan dari mendengar cerita dari orang lain (testimonium de audito) dalam praktek peradilan tak dapat dipertimbangkan hakim.

"Jaksa yang menghadirkan Saksi Kategori Testiminum de audito patutlah dipertanyakan keahlian menerapkan hukum acara pidana. Profesionalitas mereka patut dipertanyakan," ungkapnya.

Padahal, para jaksa dalam kasus Ahok berjumlah 13 orang memiliki jam terbang sebagai Penuntut Umum yang menyajikan pembuktian dalam proses peradilan dimana para terdakwa tak pernah lolos dari apa yang didakwakan.

Namun dengan menghadirkan empat Saksi di awal persidangan untuk pembuktian, sepertinya para jaksa mempertaruhkan reputuasi, kehormatan profesinya dengan mengabaikan dasar-dasar hukum dan argumentasi dalam peradilan.

"Kalau sampai akhir persidangan ternyata tak ada saksi fakta dari Pulau Pramuka yang menjadi Saksi untuk menerangkan ucapan-ucapan Ahok yang dianggap menista agama, maka sudah pasti pembuktian minimalis dengan tidak menghadirkan Saksi fakta tidak terpenuhi sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP," imbuhnya.

Karena itu, Petrus kembali mempertanyakan apakah paramete baku dalam KUHAP sudah dilakukan pada saat berkas perkara Ahok yang dilimpahkan dari Penyidik untuk dilakukan penelitan tentang kelengkapan berkas perkara untuk dibawa ke pengadilan.

"Saya mendapat kesan pada saat penelitian tidak pernah dilakukan sungguh-sungguh. Misalnya seharusnya Jaksa Peneliti memberi petunjuk kepada Penyidik supaya memeriksa dan menghadirkan Saksi Fakta sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir 27 KUHAP," tegasnya.

Dia menerangkan, penelitian kelengkapan berkas untuk dibawa ke pengadilan seharusnya merujuk ke pasal 110 dan pasal 138 KUHAP. Pasal ini menyatakan, Penuntut Umum setelah menerima pelimpahan berkas dari Penyidik mempelajari dalam waktu 7 hari.

"Berkas perkara tersebut telah lengkap dan manakala dianggap belum lengkap Jaksa harus memberi Petunjuk. Saya melihat Jaksa Agung Muda Pidana Umum berbicara di TV, bahwa dalam waktu 3 hari berkas perkara Ahok dinyatakan lengkap, dan ternyata pernyataan berkas perkara lengkap karena ada Saksi De auditu," pungkasnya.
0 Komentar