Sabtu, 25 Februari 2017 14:01 WIB

Kebijakan Ekonomi Trump Harus Diawasi Ketat

Editor : Rajaman
Donal Trump (ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Kontroversi selalu mewarnai Presiden Amerika Serikat Donald Trump, entah itu terkait dengan larangan masuknya warga negara dari tujuh negara yang berpenduduk mayoritas muslim, hingga melarang sejumlah media untuk meliputnya.

Meski banyak kebijakan presiden negeri adidaya tersebut banyak yang menimbulkan amarah, tetapi yang perlu untuk diawasi dengan lebih ketat adalah terkait kebijakan perekonomiannya, karena hingga kini masih belum ada kejelasan yang pasti mengenai hal tersebut.

Tentu saja, di masa lalu, Trump pernah menjanjikan berbagai kebijakan yang dapat disebut sebagai pro-proteksionisme, terutama terhadap berbagai negara yang dinilai "mencuri mata pencaharian dari warga Amerika" seperti China dan Meksiko.

Masalahnya, Amerika Serikat, baik dengan segala penilaian negatif maupun positif, masih menjadi salah satu negara yang mendominasi alur perdagangan global, dan mata uang dolar AS juga banyak dipakai di dalam perdagangan global.

Moody, yang merupakan perusahaan keuangan asal AS yang kerap mengkhususkan diri dalam pemeringkatan produk finansial, menyatakan, aktivitas perekonomian global saat ini diperkirakan mengalami pertumbuhan yang relatif moderat, tetapi hal tersebut juga dinilai masih diwarnai ketidakpastian kebijakan Pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Trump.

"Kami menyadari tingginya ketidakpastian pada beberapa perkiraan global karena beragam hasil yang muncul dari perubahan signifikan dalam kebijakan AS atas sejumlah isu domestik dan internasional, termasuk soal perdagangan dan imigrasi," kata VP Senior Analyst Moody Madhavi Bokil dalam keterangan pers, Sabtu (25/2/2017).

Dia menyadari, aktivitas perekonomian global terus mengalami siklus pemulihan seperti pertumbuhan G-20 pada tahun 2017 rata-rata diprediksi mencapai 3 persen dan 2,6 persen pada 2018.

Namun, lanjutnya, ada beberapa risiko sistematis besar, antara lain risiko ketergantungan ekonomi global kepada perdagangan AS, risiko dampak perekonomian negara berkembang dan finansial global terhadap kenaikan suku bunga acuan AS atau menguat nilai dolar AS, risiko penurunan tajam kinerja perekonomian China, dan risiko fragmentasi Uni Eropa.

Ia mengemukakan, bila AS jadi mengeluarkan kebijakan menerapkan tarif besar terhadap sejumlah negara tempat AS mengalami defisit perdagangan yang besar, seperti China dan Meksiko, hal itu dinilai dapat berbahaya kepada pertumbuhan perekonomian jangka panjang karena langkah AS itu tidak mungkin akan mendapatkan tindakan balasan.

Dengan kata lain, bila kebijakan perekonomian proteksionisnya benar-benar dilancarkan secara agresif pada masa mendatang, maka tidak tertutup kemungkinan terjadinya perang perdagangan global.

Tidak hanya terkait proteksionisme perdagangan, kebijakannya yang memperketat imigrasi dinilai juga dapat berdampak kuat terhadap pasar finansial global.

"Tidak diragukan pula gejolak yang disebabkan oleh larangan masuk untuk warga negara tertentu ke Amerika Serikat yang ditetapkan oleh pemerintahan Trump, dan menyebabkan kemarahan di seluruh dunia, berkontribusi dalam atmosfer yang menegangkan saat ini," kata VP of Market Research FXTM Jameel Ahmad dalam rilis, Rabu (1/2).

Jameel Ahmad menilai investor dengan cepat memperhitungkan potensi dampak deregulasi, belanja infrastruktur, dan pertumbuhan lapangan kerja di ekonomi AS.

"Saya rasa tidak mungkin apabila setelah menempatkan premi harga yang sangat tinggi berdasarkan janji fiskal, investor sekarang tidak memperhitungkan kembali kerugian apa yang disebabkan Trump dengan mengimplementasikan janji-janji lain yang membuktikan kampanye politik yang membingungkan dan agresif ini," paparnya.

Dia juga mengingatkan segala hal yang dilakukan Presiden Trump yang dapat memicu kemarahan, seperti membangun dinding perbatasan serta melarang masuknya warga negara tertentu, atau memulai perang perdagangan berisiko menciptakan dan memperburuk persepsi negatif tentang AS.

Mata uang Selain itu, Jameel Ahmad juga mengingatkan bahwa mata uang sejumlah negara berkembang rentan terpengaruh dengan janji proteksionisme yang diperkirakan bakal menjadi arah kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

"Saya sangat memantau mata uang pasar berkembang, terutama karena posisi aset-aset ini dianggap paling rentan terpengaruh oleh janji proteksionisme Trump," kata Jameel Ahmad.

Dia mencontohkan, mata uang Lira Turki sedikit melemah pascakeputusan mengejutkan dari Bank Sentral Turki untuk mengubah kebijakan moneternya.

Meski Lira Turki sedang merosot dan tertekan, lanjutnya, tetapi keputusan bank sentral negara itu dinilai tidak terlalu salah bila memperhatikan potensi dampak perubahan kebijakan seperti kasus Rubel Rusia pada Desember 2014 lalu.

Berkaitan dengan Rubel, ujar dia, mata uang Rusia itu dinilai akan terus mempertahankan posisinya sebagai salah satu mata uang terkuat di tahun 2017 walaupun alasan utama dan terbesarnya karena harga minyak telah berada di atas 50 dolar AS per barel, bukan karena hubungan baik antara Trump dan penguasa Rusia, Vladimir Putin.

"Salah satu mata uang yang paling terpukul sejak Trump memenangkan Pilpres AS adalah Ringgit Malaysia," katanya dan menambahkan, perlu diperhatikan bahwa Ringgit sangat sensitif pada kepemilikan asing atas obligasi pemerintah sehingga terkait dengan gambaran yang lebih jelas tentang prospek suku bunga AS pada 2017.

Di Indonesia, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyoroti situasi perlambatan ekonomi global saat ini, sehingga diharapkan berbagai pihak terkait juga dapat membuat kebijakan yang tepat untuk mengantisipasinya.

Menurut Heri Gunawan, ketidakpastian itu juga dinilai semakin diperburuk dengan ekspektasi negatif kebijakan pemerintah baru AS yang memperketat kebijakan moneternya.

Politisi Partai Gerindra itu mengingatkan faktor lainnya yang juga terkait perlambatan ekonomi global, antara lain adalah dampak Brexit (keluar Inggris Raya dari Uni Eropa) serta melambat pertumbuhan ekonomi China, negara dengan perekonomian terbesar saat ini.

Konsekuensi fluktuasi Presiden Joko Widodo meminta agar daerah atau provinsi yang mengalami perlambatan ekonomi sebagai konsekuensi fluktuasi ekonomi global harus dibantu dan diperhatikan oleh pemerintah pusat.

Hal itu disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memimpin rapat terbatas (ratas) dengan topik Evaluasi Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan Program Prioritas Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) di kantor presiden, di Jakarta, Selasa (14/2/2017).

"Saya ingin menekankan pada ratas sore hari ini, daerah-daerah yang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, sebagai konsekuensi dari fluktuasi ekonomi global, perlu mendapatkan perhatian dan dibantu oleh pemerintah pusat," kata Presiden Jokowi.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan akan mewaspadai apabila Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump merealisasikan kebijakan proteksionisme di dalam negerinya.

"Apabila Presiden Trump melakukan upaya proteksionisme yang kemudian menutup pasarnya maka ini juga perlu diwaspadai Indonesia. Maka nanti kami akan lihat saja tetapi secara umum Indonesia memiliki banyak pilihan pasar-pasar yang lain," katanya usai memberikan kuliah umum di Universitas Udayana (Unud) di Jimbaran, Kabupatan Badung, Jumat (20/1).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengemukakan, apabila Trump mengambil kebijakan fiskal untuk mendorong APBN menjadi motor infrastruktur maka ekonomi AS diprediksi akan lebih kuat sehingga permintaan barang dan jasa dari negeri adidaya itu akan meningkat sehingga mungkin positif bagi Indonesia.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara, Rabu (25/1), mengatakan pihaknya akan terus memantau perkembangan APBN dalam jangka pendek bisa terdampak oleh perkembangan terbaru ekonomi global.

Sementara itu, Bank Indonesia baru-baru ini mempertahankan suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate" sebesar 4,75 persen pada Februari 2017, karena mempertimbangkan masih deras tekanan dari ketidakpastian ekonomi global dan potensi kenaikan inflasi dalam negeri.

"Bunga penyimpanan dana di BI (Deposit Facility) juga tetap menjadi empat persen, dan bunga fasilitas penyediaan dana dari BI ke perbankan (Lending Facility) tetap menjadi 5,5 persen," kata Gubernur BI Agus Martowardojo, usai Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, 16-17 Februari 2017, di Jakarta, Kamis (16/2/2017).

Dengan ketidakpastian perekonomian global yang diperkirakan masih terus mewarnai dunia, maka kecermatan dan ketelitian langkah juga perlu dilakukan secara seksama oleh berbagai pihak, terutama para pengambil kebijakan.

sumber: antara


0 Komentar