Sabtu, 25 Februari 2017 18:01 WIB

RUU Perlindungan Pekerja Indonesia Diperpanjang Waktu Pembahasannya

Editor : Rajaman
Dede Yusuf (ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengungkapkan, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) diperpanjang waktu pembahasannya karena belum ada kesepakatan terkait pembagian tugas atau wewenang melindungi TKI.

"Masalah siapa melakukan apa dan siapa bertanggung jawab apa itu belum disepakati pemerintah," kata Dede Yusuf dalam keterangan pers, Sabtu (25/2/2017).

Menurut politikus Partai Demokrat itu, hal tersebut masih berupa masalah koordinasi antara lembaga pemerintahan.

Pemerintah, katanya, juga menginginkan semua aturan teknis seperti wewenang dan tanggung jawab itu ditaruh dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menetri (Permen).

Namun, ia menyatakan DPR tidak sepakat mengenai hal tersebut sebab kalau semua diserahkan dalam PP atau Permen maka RUU itu dinilai ke depannya tidak akan mengikat siapa pun.

Dia menyebutkan saat ini ada Tim Pengawas TKI yang masih terus mencari permasalahan TKI guna memperkuat RUU PPILN ini, salah satunya dimaksudkan untuk mempercepat proses penyelesaian RUU tersebut.

Sebelumnya, TKI di Hong Kong meminta agar dilibatkan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengenai penempatan perlindungan TKI di luar negeri.

Harapan itu disampaikan agar undang-undang yang baru benar-benar sesuai dengan situasi dan kondisi nyata terkait perlindungan TKI.

"Kami ingin perwakilan kami dilibatkan dalam pembahasan revisi UU tersebut, sehingga benar-benar dibuat berdasarkan situasi dan kondisi nyata yang dihadapi para TKI/buruh migran Indonesia, terutama masalah perlindungan," kata Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (BMI) Hong Kong dan Makau, Sring Atin, di Hong Kong, Minggu (19/2/2017).

Sebelumnya, anggota Komisi VI DPR sekaligus Tim Pengawas TKI DPR, Rieke Diah Pitaloka mendorong berbagai elemen bangsa untuk dapat mengusung solidaritas yang tinggi dalam rangka mengatasi persoalan yang menimpa TKI yang bekerja di luar negeri.

"Kita solidaritas bersama karena persoalan buruh migran di negara mana pun saya kira tidak bisa jalan sendiri," kata Rieke.

Menurut dia, masih adanya himpitan ekonomi dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang terbatas di dalam negeri mendorong sebagian masyarakat mengadu nasib di luar negeri untuk menjadi TKI.

Lembaga Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan warga Indonesia yang memilih menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara ilegal adalah dalam rangka menghindari alur birokrasi yang mahal sehingga mereka cenderung mencari jalur lain.

"Dibutuhkan Rp8 juta dan waktu 3-4 bulan untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri. Bagi mereka yang datang dari keluarga pra-sejahtera dan tinggal di perdesaan, ini menjadi beban finansial yang sangat berat. Jadi tidak heran banyak dari mereka yang memilih jalur yang ilegal," kata peneliti CIPS Bidang Migrasi Internasional dan Kewirausahaan, Rofi Uddarojat dalam rilis, Kamis (2/2).

Sebuah studi yang dilakukan CIPS menunjukkan remitansi yang dikirim TKI mencapai 8 juta dolar AS pada 2014, sehingga membantu mengurangi angka kemiskinan di Tanah Air. Studi CIPS juga menyoroti penurunan tingkat remitansi dari TKI tahun 2016 sebesar 15,65 persen dibandingkan dengan tahun 2015.

sumber: antara


0 Komentar