Senin, 25 September 2017 06:00 WIB

Panglima TNI ‎Promosikan Kebencian Pada PKI

Editor : Rajaman
Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Ketua SETARA Instutute Hendardi menilai ‎Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo belakangan ini melakukan manuver politik menyusul namanya masuk dalam daftar calon presiden (capres) di 2019.‎

Manuver politik tersebut salah satunya memerintahkan jajarannya agar melakukan nonton bareng (nobar) film Penghianatan Gerakan 30 September oleh Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).

Hendardi berpandangan, perintah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo kepada jajarannya untuk memutar film G30S PKI menggambarkan perspektif dan sikap politik Panglima TNI atas peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada 1965-1966. 

"Alih-alih mendukung rencana pemerintah yang berencana menggali kebenaran persitiwa tersebut, Gatot justru bersikap sebaliknya mempromosikan kebencian kepada orang-orang yang dituduh PKI di masa lalu, meskipun hingga kini kebenaran peristiwa tersebut belum terungkap," kata Hendardi dalam keterangan pers, Senin (25/9/2017).

‎Sebagaimana diketahui film G30S PKI adalah film indoktrinatif yang diproduksi oleh Orde Baru untuk membenarkan tindakan penguasa baru itu menciptakan stabilitas politik pada masanya. 

Film tersebut juga menjadi instrumen menyebarkan kebencian, stigma, dan diskriminasi permanen pada orang-orang yang dituduh sebagai PKI. 

Di sisi lain, pasca Orde Baru, muncul banyak versi tentang peristiwa tersebut. Bahkan pemerintah telah berencana untuk melakukan pengungkapan kebenaran dan keadilan atas peristiwa yang sesungguhnya. 

"Jadi, rencana pemutaran film yang digagas oleh Panglima TNI hanyalah model dan cara Orde Baru untuk menanamkan kebencian tanpa reserve, tanpa interupsi, meskipun yang disuguhkan adalah peristiwa yang belum jelas kebenarannya. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya pemutaran film tersebut tidak lagi dilakukan," jelasnya.

Di tengah upaya pemerintah yang berencana mengungkap kebenaran dan keadilan atas peristiwa kemanusiaan tersebut, kata Hendardi, Jokowi semestinya bisa mendisiplinkan seluruh elemen di bawah tanggung jawabnya untuk tidak membuat kegaduhan yang dapat menciptakan instabilitas politik dan keamanan. 

Dan yang paling utama, Jokowi menyegerakan upaya-upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan atas pelanggaran HAM di 1965 tersebut. "Dalam Nawacita, sebutnya, Jokowi-JK berjanji akan membentuk Komisi Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran pelanggaran HAM masa lalu, termasuk peristiwa 1965," ungkapnya. 


0 Komentar