Selasa, 17 Oktober 2017 18:24 WIB

Ketua Pembina UTA'45 Tegaskan Bangsa Ini Butuh Kejujuran dan Kebenaran

Editor : Yusuf Ibrahim
Ketua Pembina UTA'45, Rudyono Darsono (kiri). (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com- Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945 (UTA'45 Jakarta) terus berjuangan mendapatkan kebenaran terkait penggelapan data terhadap aset tanah yayasan.

Kasus ini seakan dibiarkan sehingga masih terkatung-katung sampai sekarang. Alhasil, membuat Ketua Pembina UTA'45, Rudyono Darsono, bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (bekas gedung PN Jakarta Pusat), Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (17/10/2017).

“Saya sesalkan sebab kesaksian saya ini menjadi perdebatan. Ini kan masalah keluarga, masalah di dalam yayasan, termasuk saksi sebelumnya itu, sebagai sekretaris yayasan dan saya ketua yayasan. Tapi tidak ada masalah, ini proses yang sudah diambil majelis hakim,” jelasnya kepada para wartawan usai sidang.

 “Kita dari dunia pendidikan, saya tekankan juga ke ibu rektor dan semua pimpinan yang lain, bangsa ini butuh kejujuran, kebenaran, dan bangsa ini rusak karena kebohongan, ketidakjujuran serta kemunafikan, koruptor. Ini saya sampikan berkali-kali ke Bapak Jokowi (Presiden Joko Widodo). Bangsa ini orang pintar banyak, tapi orang jujur susah. Kami hanya menginginkan adanya kebenaran. Saya hanya ingin mengabdi di dunia pendidikan yang saya kelola dan lakukan sampai hari ini meski ada permainan di pemerintah,” tegasnya didampingi Tim Kuasa Hukum UTA'45 Jakarta, Gelora Tarigan, Anton Sudanto dan Arfianto Sagita.

Sebelumnya, mantan Rektor UTA’45, Thomas Noah Peea, diputus bersalah. Putusan itu dibacakan Hakim Djoko Indiarto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (20/09/2017).

Thomas terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pencatutan nama mantan bendahara UTA’45, Yovita L. Ani Wilujeng pada 2011. Nama Yovita disalahgunakan Thomas untuk membuat akta Nomor 1 tanggal 12 Februari 2014 di hadapan notaris Asep Dudi Suwardi di Tangerang.

Penggugat menuntut kerugian materiil sebesar Rp1.206.000 dan immateriil sebesar Rp10 miliar. Namun tuntutan itu tidak diterima hakim karena penggugat tidak mampu membuktikan kerugiannya.

Hakim juga tidak mengabulkan tuntutan penggugat agar tergugat menyatakan permohonan maaf di media massa nasional. Alasannya, tergugat sudah meninggal dan ahli warisnya, yaitu istri dan anak-anaknya, tidak bisa menanggung kesalahan yang dilakukan Thomas semasa hidup.

“Dengan meninggalnya tergugat, kami tidak berharap terlalu banyak. Kami hanya ingin mendapatkan sebuah legalitas dari pengadilan bahwa tergugat sudah melakukan pelanggaran hukum, melakukan perbuatan semena-mena yaitu memakai nama orang tanpa izin,” paparnya.

“Rusaknya pendidikan, rusaknya yayasan, karena permainan pejabat-pejabat kuat yang diberikan kuasa oleh negara untuk mempermainkan dan memperjualbelikan izin. Kami tidak ingin hakim mengambil keputusan yang salah. Kami ingin didengar semua agar berimbang. Kesaksian dari sana diterim, pihak penggugat juga diterima demi mencari kebenaran. Jangan terlalu bermain dengan retorika dan kata-kata,” tutupnya.(exe)


0 Komentar