Jumat, 18 Oktober 2019 11:15 WIB

Penderita Gaming Disorder Terus Meningkat Drastis

Editor : Yusuf Ibrahim
Ilustrasi. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com- Dampak buruk gadget terhadap anak-anak Indonesia makin memprihatinkan.

Saat ini anak-anak penderita gangguan jiwa akibat kecanduan game (gaming disorder) terus meningkat drastis. Gampang marah, sulit tidur, lupa makan, hingga tak mau sekolah adalah di antara gejalanya.

Pada tingkat parah, anak-anak yang mengalami gangguan ini bahkan berani melawan orang tuanya seperti memaki dan memukul. Saat ini banyak juga anak-anak yang tak menyadari bahwa dirinya tengah terganggu mentalnya. Sebagian besar penderita gangguan ini adalah dari keluarga ekonomi mampu.

Fenomena tingginya penderita gangguan mental akibat gaming disordertelah menggejala di berbagai belahan dunia seiring cepatnya perkembangan teknologi digital saat ini.

Sejak tahun lalu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah memasukkan gaming disorder ke dalam klasifikasi penyakit internasional (ICD) sebagai bagian dari penyakit mental. Sekitar 3-4% gamer dari total sekitar 2 miliar gamer di 92 negara diyakini mengidap penyakit itu.

Langkah mencari solusi untuk mengurangi penggunaan gadget anak-anak juga menjadi isu utama dalam Konferensi Pusat Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Keluarga untuk regional Asia Tenggara (ASEAN) di Kota Bandung kemarin. Konferensi ini dihadiri 200 akademisi dari tujuh negara.

Fakta tingginya penderita gaming disorderantara lain terlihat dari makin melonjaknya pasien anak-anak di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Dr Arif Zainudin Surakarta. Tiga tahun silam pasien anak-anak akibat kecanduan game rata-rata hanya satu orang tiap pekannya.

Namun, saat ini jumlah itu meningkat tajam. Rata-rata setiap hari rumah sakit ini menerima satu hingga dua anak yang mengalami gaming disorder. Mulai tahun ajaran baru (Juli) hingga pertengahan Oktober ini terdapat 35 anak yang dibawa ke RSJD Surakarta.

Anak yang kecanduan game parah, di pikirannya merasa sudah seperti di game itu. Anak itu bahkan merasa turun dari langit dan tidak mengakui orang tuanya. Dari 35 anak yang masuk RSJD Solo, dua di antaranya menjalani rawat inap karena kecanduannya sangat berat.

“Yang rawat inap anak SMP kelas 3 dan SMA kelas 1. Setelah rawat inap, kemarin baru bisa pulang,” ujar Kepala Instalasi Kesehatan Jiwa Anak Remaja RSJD Dr Arif Zainudin Surakarta dr Aliyah Himawati.

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat juga menerima ratusan anak-anak pasien kecanduan gadget. Dari 2016 setidaknya ada 209 pasien yang dirawat di RSJ di Cisarua, Kabupaten Bandung ini. Umur mereka berkisar antar 5-15 tahun. Selain kecanduan game, mereka juga bermain browsing internet atau aplikasi lain.

Di Kabupaten Bekasi, NV, 17, dan TY, 17, saat ini juga tengah dirawat di Yayasan Al Fajar Berseri Tambun Selatan lantaran kecanduan berat game. Warga asal Cibitung, Kabupaten Bekasi ini sudah satu tahun dirawat. Dalam keseharian mereka hanya berdiam diri dan sesekali berinteraksi. Namun, dua pasien itu seketika bereaksi ketika melihat telepon genggam. “Misal ada handphone di-charge, langsung direbut," kata Ketua Yayasan Al Fajar Berseri Tambun Selatan Marsan.

Umumnya penderita gangguan mental ini mengoperasikan gadget dari sejak bangun tidur hingga malam menjelang tidur kembali. Akibatnya, tidak jarang mereka pun bolos sekolah. "Buat makan saja mereka lupa. Lebih parah lagi, kalau dilarang, mereka mulai emosional," ujarnya. Biasanya tujuan anak ini memiliki handphone untuk bermain game online seperti Mobile Legend dan PUBG.

Terapi Perilaku
Penanganan anak-anak yang kecanduan game berbeda antara satu dengan lainnya. Hal tersebut disesuaikan dengan gejala yang muncul. Langkah awal yang dilakukan adalah mengatasi dulu ke arah gangguan emosi. Gangguan emosi itu antara lain marah, tidak bisa tidur, atau tidak mau makan. Untuk mengatasi gangguan emosi, maka diberikan obat farmakoterapi. Obat ini bertujuan menyeimbangkan cairan otak (neurotransmitter). Setelah terjadi keseimbangan, obat diturunkan dan terapi perilaku dimaksimalkan.

Dalam terapi perilaku, anak yang kecanduan game akan diarahkan harus melakukan kegiatan setelah pulang sekolah. Misalnya jika sebelumnya pulang sekolah langsung memegang handphone, saat ini mulai dibatasi.

Pembatasan misalnya, hanpdhone hanya bisa digunakan untuk mengerjakan tugas dari sekolah. Sedangkan di lingkungan keluarga diharapkan pada jam-jam tertentu semuanya tidak memegang gadget. Tak kalah penting adalah orang tua harus introspeksi apakah juga kecanduan gadget atau tidak. Gejala yang dapat dilihat adalah setiap lima menit mengecek handphone. Orang tua memiliki peran besar dalam mengontrol penggunaan handphone.

Psikolog klinis Liza M Djaprie pernah menangani pasien yang kecanduan gadget sampai mogok sekolah dan kuliah. "Ada yang kecanduan main PS (play station) dan dipotong uang jajannya. Akhirnya dia malah mencuri uang orang tuanya untuk bisa main PS atau pergi ke warnet," kata Liza. Liza menganalogikan kecanduan gadget seperti ada kabel yang korsleting di otak.

Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto menilai adiksi gadget tidak semata-mata disebabkan kebiasaan main gadget semata, tetapi juga karena profil psikologis sang anak. Misalnya saja anak yang tidak bahagia, kurang gerak, dan cara berpikir kaku. Kondisi ini membuat anak semakin rentan terpapar efek negatif gadget.

Selain WHO, think tank Pew Research Center juga menyatakan sekitar 94% anak remaja laki-laki dan 6% anak remaja perempuan di dunia kecanduan game di berbagai perangkat seperti ponsel, komputer, ataupun console. Pasien gaming disorder rata-rata berusia 24 tahun, terbanyak berasal dari ras Kaukasoid (69%) dan Asia (13%).

Studi dalam skala besar juga dilakukan di Kanada. Hasilnya, sekitar 13% siswa kelas 7-12 mengalami gejala gaming disorder, naik sekitar 4% sejak 2007. Gamer asal Utah, AS, Griffin, mengaku menjalani program terapi dengan mengikuti program travelling ke alam liar. Sebelumnya dia lebih senang bermain game dan bersosialisasi di dunia online dibanding bersosialisasi di dunia nyata. “Saya mulai senang bermain vidoe game ketika berumur sembilan tahun,” terang Griffin.(ist)


0 Komentar