Rabu, 23 Maret 2016 11:44 WIB

Ricuh Angkutan Umum Online, Konsumen Ingin Dimengerti

Editor : RB Siregar
Penulis: Dafa R. Tamma

AKSI unjuk rasa angkutan umum konvensional, Selasa (22/3/2016) kemarin, praktis melumpuhkan nadi perekonomian Ibukota. Ribuan penumpang telantar, baik yang menuju tempat kerja, ke dan dari Bandara Soekarno Hatta maupun pusat-pusat perbelanjaan menjadi sepi pengunjung.

Unjuk rasa tersebut tak bisa disepelekan. Di sana ada masalah perut yang perlu diurus baik-baik, entah itu perut pengelola angkutan umum online maupun angkutan umum konvensional. Keduanya sama-sama ingin melanjutkan kehidupan dengan harapn ekonomi mapan.

Kehadiran angkutan umum online di hampir semua belahan dunia, baik di Eropa maupun Indonesia, dirasa mengganggu kenyamanan angkutan konvensional. Mereka protes seperti halnya di Jakarta. Selama ini mereka hanya bersaing dengan sesama angkutan konvensional dengan tarif yang dirasa memberatkan konsumen.

Lalu hadir angkutan umum online, sebut saja Grab-Car, Grab Taxi atau ojek online. Benturan terjadi. Ojek pangkalan marah karena ojek online mengambil penumpang di zona yang selama ini menjadi pasar empuk mereka. Begitu juga angkutan umum konvensional, mereka marah lalu berunjuk rasa minta angkutan online ditutup.

INGIN DIMENGERTI

Padahal, konsumen tak mempermasalahkan apakah angkutan umum yang membawa mereka berbasis online atau konvensional. Konsumen ingin dimengerti dan dimudahkan.

Bayangan Anda berada di rumah, ingin ke pusat perbelanjan Blok M, Jakarta Selatan. Apakah Anda harus menunggu atau menelepon taksi untuk minta diantar, atau cukup membuka aplikasi untuk memesan angkutan umum online? Insting manusia tentu ingin yang lebih praktis dan dimudahkan.

Belum lagi soal tarif perjalanan. Siapa yang lebih mengerti, apakah angkutan konvensional atau angkutan online. Taksi konvensionl sekali buka pintu Rp7500, dan tarif dasar Rp6500. Jika terjebak macet, tarif yang dibayar untuk sampai tujuan, bisa membengkak dari perkiraan.

Hal itu berbeda dengan angkutan online. Konsumen tidak dikenakan biaya buka pintu, tetapi tarif dasar Rp2500, atau angka jauh di bawah tarif dasar taksi konvensional. Jaminan lainnya, konsumen tak lagi dikenakan biaya tambahan walau seharian terjebak macet. Cukup bayar sesuai tarif saat order, misalnya Rp25 ribu untuk sampai ke Blok M.

Hal itulah yang membut angkutan online lebih murah dan mudah. Mereka mengerti dan memudahkan konsumen. Maka, angkutan konvensional harus berbenah. Pemerintah harus campur tangan. Jika alasan pajak, kir dan sebagainya yang membuat tarif angkutan umum konvensional menjadi lebih mahal, mengapa pemerintah tak meninjau hal itu.(i)
0 Komentar