Kamis, 02 Juni 2016 19:32 WIB

Rekomendasi Simposium Anti-PKI: Jangan Otak-atik Luka Lama

Editor : Hendrik Simorangkir
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Simposium 'Mengamankan Pancasila dari Ancaman PKI dan Kebangkitan Ideologi Lain' ditutup, hari ini. Salah satu butir kesimpulan mengingatkan semua pihak untuk tidak mengotak-atik luka lama, termasuk meminta maaf kepada korban PKI.

Butir kesimpulan dibacakan Waketum FKPPI Indra Bambang Utoyo, Kamis (2/5/2016). "Menilik sejarah perjalanan bangsa yang tidak terbantahkan, sepatutnya PKI yang seharusnya minta maaf ke pemerintah dan rakyat," kata Indra.

Namun pada kenyataannya, Indra melanjutkan, PKI masih tetap berusaha eksis dan sejak awal reformasi telah menggelar tiga kali kongres.

PKI juga, Indra memaparkan, berusaha memutarbalikan fakta sejarah, menyebar film, dan video yang berisi fitnah.

"Selain itu, PKI juga berusaha membersihkan diri dan melimpahkan kesalahan pada pihak lain, khususnya Orba, TNI, dan umat Islam," jelas Indra, membacakan kesimpulan di lokasi simposium, di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (2/6/2016).

Menurut Indra, sejarah telah mencatat adanya aksi pemberontakan yang dilakukan PKI pada 1948 dan 1965.  Pemberontakan pada 1948 terjadi saat Pemerintah Indonesia tengah berjuang melawan agresi Belanda.

Sedangkan pada 1965, pemberontakan terjadi ketika Sukarno dan rakyat Indonesia melaksanakan dwi komando rakyat.

"Dua kali pemberontakan itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Pancasila dan rakyat Indonesia. Sebuah tindakan licik, menusuk dari belakang, saat rakyat dan pemerintah sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan," tandas Indra.

Tujuan, dibeberkan Indra, sangatlah jelas. "Untuk merebut kekuasaan yang bila berhasil akan menggantikan Pancasila dengan ideologi komunisme," tegas dia.

"Berkat kesadaran bersama, saat ini tidak ada lagi stigma yang tersisa dari cucu eks-PKI. Semua hak-hak sipil sudah pulih. Untuk itu hendaknya tidak usah cari cara rekonsiliasi," tegasnya.

Pemerintah, LSM, dan berbagai pihak, Indra mengingatkan, diminta pula untuk tidak mengotak-atik masa lalu terkait peristiwa 1965.

"Karena akan membuka luka lama dan bisa membentuk konflik horizontal. Akan lebih bijak bila kita melupakan masa lalu dan melihat masa depan," pungkasnya.
0 Komentar