Minggu, 28 Agustus 2016 12:04 WIB

Anak-anak Indonesia Latihan Militer di Suriah untuk Jadi Pasukan ISIS

Editor : Yusuf Ibrahim
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Bangsa Indonesia harus waspada terhadap paham terorisme karena sebagian dari Proxy War yang ada di Indonesia.

Demikian dikatakan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, beberapa waktu lalu saat memberikan kuliah umum dihadapan 490 Mahasiswa Pascasarjana Universitas Pertahanan, PMPP IPSC, Sentul, Bogor, Jawa Barat.

"Banyak orang yang mengatakan bahwa terorisme yang terjadi di Indonesia bahkan di dunia adalah karena faktor ketidakadilan. Hal tersebut adalah bohong karena masalah terorisme sebenarnya berlatar belakang energi. ISIS sebagai contoh nyatanya," ujar Gatot Nurmantyo.

Lebih lanjut, Panglima TNI mengatakan bahwa ISIS saat  ini bukan lagi ISIS. Melainkan Islamic State, karena mereka para teroris ingin membuat satu negara  menjadi negara Islam, namun perekrutanya dari seluruh negara.

"Jadi ISIS sistem perekrutanya itu mencari hal-hal yang sensitif, dimana kesenjangan sosialnya dan tingkat ketidakadilan sangat tinggi serta sering terjadi pelecehan agama di negara tersebut, seperti Indonesia dan Perancis serta beberapa negara lainnya," imbuh Gatot Nurmantyo.

Dalam kesempatan, tersebut Panglima TNI mengatakan bahwa, banyak anak-anak Indonesia, saat ini berada di Suriah, Mereka diberikan latihan menembak dan latihan militer lainnya untuk dididik menjadi pasukan ISIS.

"Anak-anak tersebut dicuci otak untuk menjadi teroris bahkan mereka membakar raport sekolahnya. Apabila nantinya mereka terdesak di Suriah, maka sesuai doktrin para teroris tersebut akan kembali ke negara asalnya dan mengadakan perjuangan di wilayahnya masing-masing," ungkap Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menyampaikan beberapa  hasil survei yang dilakukan oleh lembaga penelitian seperti, Wahid Foundation pada tahun 2016 mengatakan bahwa 7,7 persen muslim Indonesia bersedia berpartisipasi dengan teroris. 0,4 persen pernah berpartisipasi dengan teroris.

Sedangkan Setara institute mengatakan bahwa 35,7 persen siswa SMA Negeri di Jakarta dan Bandung intoleran pasif, 2,4 persen  intolerar aktif  dan 0,3 persen berpotensi menjadi teroris.

Hasil survei yang sama juga disampaikan oleh Universitas Islam Negeri Jakarta pada tahun 2011 bahwa, 26,7 persen mahasiswa Islam setuju jihad dengan kekerasan 68,4 persen  tidak setuju.

Sedangkan CSRC UIN Jakarta pada tahun 2008-2009 mengeluarkan hasil survei dimana  45 persen Takmir Masjid di Jakarta mewajibkan berdirinya Negara Islam dan 26 persen jihad melawan kaum nonmuslim, dan 32 persen wajib perjuangkan kilafah. Sementara 14 persen wajib perangi pemerintah yang tidak melakukan sari'ah.

"Dapat dibayangkan betapa perekrutan teroris sangat mudah dengan menggunakan media sosial dan teroris Indonesia memiliki dana yang cukup besar. Dana teroris yang masuk ke Indonesia paling besar dari Australia. Bukan negara Australia ya, tetapi dari wilayah Australia, Malaysia, Brunei dan Philipina. Di negara itu juga, teroris telah dilatih dan disiapkan untuk masuk ke Indonesia," kata Panglima TNI.

Panglima TNI juga menyampaikan bahwa sumber dana teroris yang masuk ke Indonesia melalui yayasan-yayasan sangat besar, namun kita tidak dapat berbuat apa-apa.

Penyebabanya, karena undang-undangnya masih mengatakan bahwa terorisme adalah tindakan kriminal biasa. "Maka dari itu saya katakan, alangkah bodohnya bangsa ini kalau masih mendefinisikan teroris adalah kejahatan kriminal. Kalau kejahatan kriminal berarti tindakannya berdasarkan hukum pidana," ujarnya.

"Padahal, itu sudah pembunuhan secara massal, membuat ketakutan berlebihan, merusak sendi-sendi kehidupan, bahkan merusak kedaulatan negara. Itu adalah kejahatan negara, kita harus berani menyikapi hal itu," tegas Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.(exe/ist)
0 Komentar