Senin, 05 Desember 2016 13:28 WIB

Pakar HTN: Polisi Gunakan Hukum dari Planet Lain Terapkan Pasal Makar

Editor : Rajaman
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Margarito Kamis mengatakan, Polri telah menggunakan hukum di luar hukum positif Indonesia dalam mengusut kasus makar dan penghinaan pada simbol negara.

Hal ini menurut Margarito karena tidak ada satupun aturan hukum yang ada di Indonesia bisa diterapkan pada para aktivis-aktivis tersebut.

“Kita harus tanya kepada para penyidik mereka menggunakan hukum darimana dan hukum apa. Mungkin saja mereka gunakan hukum dari planet lain, karena kalau menggunakan hukum yang ada di Indonesia, maka aturan penghinaan terhadap simbol negara maupun makar tidak seperti yang dituduhkan polisi terhadap para aktivisi tersebut,” ujar Margarito saat dihubungi, Senin (5/12/2016).

Menurut Margarito dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 tentang BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN tidak ada satupun pasal, ayat, huruf atau kata yang menyebut presiden sebagai lambang negara.

“Makanya kalau mereka yang jelas aparat penegak hukum mengatakan bahwa Jokowi sebagai presiden adalah lambang negara, maka UU darimana yang mereka gunakan?Yang namanya simbol negara itu yah bendera, bahasa, lambaga negara dan lagu kebangsasaan. Sementara lambang negara itu Garuda Pancasila,” jelasnya.

Sementara untuk tuduhan makar, Margarito juga heran dengan alasan maupun logika aparat penegak hukum dari kepolisian. Di mana salahnya jelas Margarito orang meminta MPR bersidang untuk kembali mengubah UUD bisa disebut makar.

“Kalau mau tahu yang namanya makar itu contohnya apa yang dilakukan terhadap Bung Karno. Beberapa kali orang mencoba membunuh dan mencelakakannya.Makar itu menggunakan senjata seperti bom Cikini terhadap Bung Karno maupun bom di Jembatan di Bandung ketika Bung Karno lewat. Lah kok orang datang ke DPR, kirim surat ke DPR minta ubah UUD dibilang makar,” paparnya.

Lebih jauh Margarito menegaskan, tuduhan makar dan menghina lambang negara hanyalah bentuk kecintaan Polri yang berlebihan terhadap sosok Jokowi dan melebihi kecintaan mereka pada NKRI maupun pada hukum yang harusnya mereka tegakkan.

“Mereka mencintai Jokowi melebihi cintanya pada NKRI, pada aturan hukum dan pada keadilan. Orang kalau memang cintanya berlebih-lebihan tindakannya suka tidak masuk akal. Atau bisa jadi karena cuaca dingin, polisi ingin mencari suasana lain makanya mereka membuah tuduhan yang bukan-bukan,” cetusnya.

Dia pun menyayangkan bahwa citra kepolisian akan makin terpuruk dengan tindakan polisi ini karena jelas terlihat betapa tidak pahamnya aparat kepolisian terhadap aturan hukum dan terlalu ceroboh.

”Ini akan membuta citra polisi sebagai pengabdi kekuasaan dan bukan pengabdi hukum.Masyarakat akan semakin antipati pada polisi,” tandasnya.

Sebelumnya Anggota Komisi III DPR RI, Raden Muhammad Syafi’i mengatakan penangkapan para aktivis oleh Polda Metro Jaya dengan tuduhan makar sama sekali tidak memiliki landasan hukum. Dia pun meminta Kapolda Metro Jaya untuk membaca kembali pasal makar di KUHP dan menunjukkan pasal mana yang bisa disangkutkan pada para aktivis tersebut.

“Pasal 104 KUHP itu tertulis: Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun,” ujar Raden Muhammad Syafi’i saat dihubungi Senin (5/12/2016).

Menurut pria yang kerap disapa Romo ini tidak ada yang akan membunuh presiden atau wapres sementara untuk meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden, justru dirinya melihat para aktivisi itu ingin mengingatkan presiden akan kemampuan presiden dan wakil presiden untuk bertindak pada pelanggar hukum seperti Ahok.

”Jadi pasal 105 jelas tidak terpenuhi unsur-unsurnya,” tambahnya.

Dalam pasal 106 KUHP berbunyi , Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun, menurutnya juga tidak terpenuhi.”Para aktivisi itu justru sedang mengingatkan akan keutuhan NKRI jika Ahok tidak juga dipenjarakan,” jelasnya.

Untuk pasal 107 ayat (1) tertulis Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Sementara dalam ayat (2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebbut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

“Sekarang dimana letaknya mereka mau menggulingkan pemerintahan?Yang mereka tuntut kan jelas agar pemerintahan menegakkan hukum dan menjalankan kewajiban konstitusionalnya. Jelas juga unsur ini tidak bisa dipenuhi,” imbuhnya.
0 Komentar