Kamis, 05 Januari 2017 07:55 WIB

Pelaku teror di Istanbul Memiliki Kemampuan Perang Gerilya

Editor : Eggi Paksha
JAKARTA, Tigapialrnews.com- Pelaku teror di klub malam Istanbul yang menewaskan 39 orang saat Tahun Baru diduga dilatih di Suriah sehingga memiliki kemampuan perang gerilya.

Pelaku yang kini masih diburu aparat Turki itu menembak mati seorang polisi dan seorang warga sipil di pintu masuk menuju klub malam Reina pada Minggu (01/01/2017).

Dia kemudian melepas tembakan senapan otomatis di dalam klub tersebut, mengisi ulang senjatanya sekitar enam kali dan menembaki korban terluka yang tergeletak di lantai.

”Pelaku memiliki pengalaman dalam pertempuran. Dia telah bertempur di Suriah selama beberapa tahun,” ungkap seorang sumber keamanan Turki pada kantor berita Reuters.

Sumber itu menyebut, pelaku tampaknya diarahkan oleh kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang telah mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu. Menurut ISIS, serangan itu sebagai pembalasan atas keterlibatan militer Turki di Suriah.

Surat kabar Haberturk melaporkan, investigasi kepolisian mengungkapkan, pria bersenjata itu masuk Turki dari Suriah dan menuju ke pusat Kota Konya pada November. Dia melakukan perjalanan itu bersama istri dan dua anaknya sehingga tidak menarik perhatian.

CNN Turk melaporkan, pelaku diyakini berasal dari Kirgistan. Badan keamanan Kirgistan menyatakan, pihaknya bekerja sama dengan otoritas Turki dan memeriksa laporan tersebut. Pejabat Turki belum memberikan keterangan rinci tentang investigasi tersebut.

Meski demikian, juru bicara pemerintah Numan Kurtulmus menyatakan, otoritas segera dapat mengungkap identitas pelaku teror itu.

Saat ini penyelidik telah mengumpulkan sidik jari dan informasi tentang keberadaannya. Otoritas juga telah menahan delapan orang lainnya yang diduga memiliki kaitan dengan aksi teror itu.

Video selfie pelaku menunjukkan bahwa dia sedang berjalan berkeliling Lapangan Taksim di pusat Istanbul. Video itu disiarkan oleh jaringan berita Turki kemarin, saat operasi kepolisian untuk memburunya terus berlanjut.

Kurtulmus tidak menyebut klaim ISIS sebagai pihak yang bertanggung jawab. Kendati demikian, jelas bahwa operasi militer Turki di Suriah telah mengganggu beberapa kelompok teroris dan pihak-pihak di belakang mereka.

Turki yang juga anggota NATO merupakan bagian dari koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) untuk melawan ISIS. Sejak Agustus Turki menggelar operasi militer di wilayah Suriah untuk melawan para militan Sunni radikal, termasuk pejuang Kurdi agar menjauh dari perbatasan.

ISIS telah dituding sebagai dalang beberapa serangan teror yang menargetkan warga sipil di Turki dalam 18 bulan terakhir. Kendati demikian, ini pertama kalinya ISIS mengklaim secara langsung aksi teror tersebut.

Sesuai pernyataan ISIS di jaringan Telegram, metode serangan itu juga dilakukan di lokasi-lokasi lain. Haberturk mengutip penjelasan seorang pegawai bar di klub malam itu yang menyatakan, pelaku melemparkan bahan peledak beberapa kali selama melepas tembakan.

Tindakan itu untuk membuat orang-orang kebingungan dan memberi waktu pada pelaku teror untuk mengisi ulang senjatanya. Beberapa saksi mata juga melaporkan, ada beberapa ledakan kecil selama serangan tersebut.

Sementara itu, Perdana Menteri (PM), Turki Binali Yildirim, berharap pemerintahan baru AS akan menghentikan suplai senjata untuk milisi Kurdi Suriah YPG. Menurut Yildirim, pemerintahan Presiden AS, Barack Obama, bertanggung jawab atas suplai senjata itu.

”AS tidak boleh membiarkan kemitraan strategis dengan Turki ini dibayangi oleh organisasi teroris,” tegas Binali Yildirim, dikutip kantor berita Reuters.

Turki marah karena AS mendukung milisi Kurdi YPG yang muncul sebagai mitra penting Washington dalam perang melawan ISIS di Suriah.

Turki menganggap milisi Kurdi sebagai bagian dari organisasi teroris yang sering kali melancarkan serangan mematikan di negara itu. Ankara sudah beberapa kali mengungkapkan protes atas langkah AS mempersenjatai militan Kurdi di Suriah.

Meski demikian, AS tetap melanjutkan kebijakan tersebut hingga saat ini. Turki pun sedang menunggu perubahan kebijakan AS di bawah pemerintahan presiden terpilih Donald Trump yang akan segera dilantik bulan ini.(exe/ist)
0 Komentar