Senin, 08 Mei 2017 21:31 WIB

Muhammadiyah: Berhenti Konstruksi Kegawatan Indonesia Usai Pilgub DKI

Editor : Rajaman
Haedar Nashir. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengajak masyarakat setelah Pilgub DKI Jakarta untuk berhenti mengkonstruksi Indonesia berada dalam kegawatan menilik hal itu bisa masuk kategori membesar-besarkan persoalan.

"Mau sampai kapan? Kita sadar terdapat sejumlah masalah lain yang perlu ditangani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Haedar, Senin (8/5/2017).

Dia mengatakan apa yang ada di pikiran sering membentuk keadaan. Sesuatu yang ringan tetapi dianggap berat akhirnya terasa berat. Ketika keadaan normal disebut abnormal, suasananya menjadi terasa di luar kewajaran. Masalah sedikit ketika dianggap besar, benar-benar terasa besar. Maka, betapa penting menata atau mengkonstruksi pikiran agar tetap positif.

Usai Pilgub DKI yang berjalan demokratis dan damai, kata dia, ada upya menggiring kepada pikiran atau pendapat-pendapat yang terasa gawat atau digawat-gawatkan. Ada yang menganggap kemenangan Anies-Sand menjadi titik merebaknya radikalisme agama, intoleransi dan ancaman terhadap kebhinekaan, malah sebagian menyebut hasil kontestasi politik itu memicu mekarnya politik primordialisme atau suku, agama, ras dan antargolongan.

Giring opini Di lain pihak, dia mengatakan ada unsur masyarakat yang menggiring opini Ahok-Djarot yang kalah secara demokratis dan keduanya sebenarnya sudah mengucapkan selamat kepada pemenang, digambarkan mewakili kebhinekaan, toleransi, moderat dan rasionalitas.

Maka ketika pasangan ini kalah, maka lalu muncul pandangan peringatan atas ke-Indonesiaan.

Selain itu, kata dia, ada yang berpandangan terdapat ancaman terhadap NKRI karena ada gerakan kelompok Islam radikal dan persoalan kebangsaan lain. Lalu dimunculkan istilah kawan setia dan paling mendukung NKRI. Sebaliknya, tentu saja ada yang dianggap kurang atau tidak setia serta tidak pro-NKRI.

"Pikiran dan pandangan yang mengesankan situasi gawat seperti itu justru dapat berpotensi menciptakan psikologi kegawatan dalam berbangsa dan bernegara saat ini. Jika pendapat-pendapat negatif seperti ini terus diproduksi, boleh jadi malah akan terjadi saling berhadapan atau dihadap-hadapkan antardua pihak warga bangsa yang berbeda. Mayoritas versus minoritas, pemeluk agama satu dengan pemeluk agama lain, antara satu etnik dengan etnik lain, antara kelompok radikal satu dengan radikal lain," kata dia.

Namun, kata dia, jika berpikir lebih jernih dan obyektif maka permasalahan yang berkembang masih bisa diatasi dan terus didialogkan untuk dicarikan solusi.

Pilkada DKI memang ada masalah yang berkaitan dengan relasi politik dengan sentimen agama dan etnik, tetapi faktor itu bukanlah satu-satunya karena ada masalah lain yang sejatinya ikut memicu seperti faktor personalitas, kesenjangan sosial dan lain-lain.

Atas fenomena itu, Haedar mengajak masyarakat untuk lebih bijak dengan mengkaji peristiwa secara seksama dan komprehensif agar tidak melahirkan pandangan dangkal yang menimbulkan politisasi dalam beragam bentuk, termasuk dramatisasi situasi.

Dramatisasi itu, kata dia, sering memicu masalah baru dan memperluas masalah kemudian menimbulkan kepanikan maupun kesan suasana gawat yang tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan yang faktual atau apa adanya.

Maka, lanjut dia, hendaknya perlu dihentikan pikiran-pikiran yang cenderung menggawatkan atau mendramatisasi keadaan disertai pandangan yang ekstrem, provokatif dan berlebihan. Kembalilah ke pandangan yang moderat, objektif dan mengirim pesan damai serta positif. Masalah yang dihadapi dapat dikaji secara seksama dan dicarikan solusi bersama dalam suasana yang lebih normal.

"Bangsa ini telah melewati banyak rintangan dan masalah besar sehingga memiliki modal sosial yang relatif mencukupi untuk melewati masalah-masalah baru. Masalah harus dihadapi, tetapi jangan termakan situasi. Jangan sebarkan virus kecemasan dan kewaspadaan yang berlebihan yang menciptakan psikologi kegawatan melebihi kemestian. Di sinilah pentingnya kedewasaan, kearifan, kejujuran dan kecerdasan para pemimpin negeri," kata dia.

sumber: antara


0 Komentar