Kamis, 08 Juni 2017 10:31 WIB

KIPP: Penambahan Anggota KPU-Bawaslu Tidak Solutif

Editor : Rajaman
KPU-Bawaslu (ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia berpandangan penambahan anggota KPU dan Bawaslu bukan merupakan langkah solutif dalam penyelengaraan Pemilu 2019.

"Penambahan jumlah anggota KPU tidak ada urgensitasnya, malah berbahaya ke depannya, jika ada satu saja perbedaan pendapat jika baik di KPU atau Bawaslu terbelah atau terjadi relasi konfliktual antaranggota, mereka akan saling menyandera dengan cara bergiliran tidak hadir pleno dengan harapan tidak mencapai quorum atau konsensus," kata Wakil Sekjen KIPP Indonesia, Girindra Sandino, dalam keterangan pers, Kamis (8/6/2017).

Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu sebelumnya menyepakati penambahan jumlah komisioner KPU RI dari tujuh menjadi 11 orang dan Bawaslu dari lima menjadi sembilan orang. Penambahan itu diperlukan karena pemilihan presiden dan pemilihan legislatif digelar serentak tahun 2019.

Bahkan, lanjut Girindra Sandino, hal itu bisa merembet ke bawah atau kesekretariatan dengan diam-diam memboikot program-program tertentu yang belum atau menunjukkan sinyal tidak disepakati. Pemboikotan dari kesekretariatan karena terbelahnya pendapat para anggota KPU sangat berbahaya untuk jalannya tahapan pemilu.

Penambahan jumlah, lanjut Girindra, juga dapat atau kerap menimbulkan dualisme dalam hal pekerjaan atau program dan tugas yang diemban. Pada akhirnya satu program atau tugas yang sudah ditetapkan time linenya dikerjakan oleh dua orang anggota KPU maupun Bawaslu.

"Hal ini tentu akan menimbulkan dampak pada ketidakefektifan dan tidak profesionalitasnya anggota KPU maupun Bawaslu. Jika suatu program mengalami masalah atau mendapat kritik keras dari kalangan pemerhati pemilu, anggota-anggota KPU maupun Bawaslu dipastikan akan saling menyalahkan, yang dapat memecah soliditas secara internal kelembagaan," tuturnya.

Kekompakan Menurut dia, Pemilu yang serentak sangat memerlukan kekompakan atau soliditas yang kuat dari anggota, bukan menambah yang cenderung akan dapat memecah- belah jika terjadi perbedaan pendapat.

"Hal ini tentu mengundang kecurigaan, apakah ada agenda tertentu dalam penambahan anggota KPU dan Bawaslu? Tidak dapat dipungkiri masih ada penyelenggara yang tidal taat asas penyelenggara pemilu," tuturnya.

Hal itu tercermin dalam adanya pengaduan kepelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu (DKPP), sebanyak 2578 periode 2012-2017. Pengaduan terhadap pelanggaran kode etik penyelenggara ke DKPP terbanyak saat pemilu legislatif dan didominasi di tingkat Kabupaten maupun Pilkada.

Pilkada di Halmahera Selatan di mana KPU Kabupatennya dibekukan, karena upload perolehan suara KPU RI berbeda dengan hitungan saksi-saksi di sana, yang akhirnya Mahkamah Kontitusi menggelar PSU, dan KPU Provinsi Maluku Utara mengambil alih tugas KPU Kabupaten.

"Bayangkan kotak suara saja bisa dibuang saat itu karena perubahan perolehan suara. Yang paling sering pelanggaran kode etik penyelenggara misalnya karena penyelenggara pemilu tidak profesional seperti menerima uang dari paslon. Sementara kasus pelanggaran kode etik berat misalnya suap, intimidasi dan kekerasan, serta keberpihakan. Yang paling parah adalah keberpihakan, dimana anggota penyelenggara pasti dipecat," paparnya.

Tak hanya itu, penambahan anggota KPU dan Bawaslu akan menguras keuangan negara, berapa uang yang harus dikeluarkan sebagai dampak dari penambahan anggota KPU dan Bawaslu.

"Betapa kontestasi demokrasi di RI akan sangat mahal atau 'high cost democracy'. Belum ada jaminan penambahan jumlah anggota KPU dan Bawaslu dapat memperbaiki kualitas pemilu. Aneh saja jika alasan besaran daerah dan julah penduduk dijadikan alasan penambahan anggota KPU dan Bawaslu dan dianggap suatu yang 'biasa' atau 'kewajaran'. Apa yang menjadi tolok ukur secara ilmiah penambahan anggota KPU-Bawaslu dapat memperbaiki kualitas pemilu. Jangan meramal-ramal dengan melihat kasus luar negeri yang tentu berbeda dengan pemilu di Indonesia," kata Girindra.

Ia menambahkan, langkah solutif dan strategis yang bisa dilakukan adalah menambah jumlah komposisi tenaga ahli dan tim asistensi serta penguatan kelembagaan secara internal dengan meningkatkan Sumberdaya Manusia (SDM) dari Kesekjenan/Kesekretariatan.

"Satu komisioner biasanya hanya didampingi satu tenaga ahli, bisa ditambah menjadi dua orang, sehingga dapat mempermudah tugas-tugas komisioner, atau disposisi jika komisiner sangat sibuk, yang akan dibantu oleh tim asistensi.

Tim ssistensi seorang komisioner memiliki empat atau lima orang bisa ditambah menjadi tujuh orang. Sehingga akan lebih fokus dan terorganisir secara internal kelembagaan dalam mengerjakan tugas-tugas kepemiluan," ucap Girindra Sandino.


0 Komentar