Senin, 12 Juni 2017 21:44 WIB

KPK Dalami Aset yang Dijual BLBI

Editor : Yusuf Ibrahim
Juru bicara KPK, Febri Diansyah. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami secara serius aset yang sudah dijual dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Kami secara serius masuk lebih jauh dalam kasus BLBI ini untuk melihat terkait aset-aset yang sudah dijual dan tentu kami akan nilai aset tersebut untuk membuktikan masih ada kewajiban sekitar Rp3,7 triliun, namun Surat Keterangan Lunas (SKL) sudah diberikan," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di gedung KPK, Jakarta, Senin (12/06/2017).

Sementara dalam penyidikan kasus itu, KPK pada Senin memeriksa Menteri Keuangan 1998-1999 dan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pertama Bambang Subianto sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT). 

"Saksi ini periksa dalam kapasitas sebagai mantan Ketua BPPN yang pertama. Jadi beliau menjadi Ketua BPPN pertama Januari-Maret 1998. Kami mendalami tentang bagaimana proses pembahasan dan proses yang terjadi sebelum kebijakan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) diputuskan terkait dengan BLBI ini," kata Febri.

Selain memeriksa Bambang, KPK memeriksa mantan pegawai BPPN Hadi Avilla Tamzil sebagai saksi juga untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung. 

"Untuk saksi Hadi, kami dalami terkait penjualan aset pada saat itu terkait dengan kewajiban obligor BLBI yang sedang kami proses kasusnya saat ini," ucap Febri.

Sebelumnya, dalam penyidikan kasus itu, KPK mempertimbangkan bekerjasama dengan Interpol untuk mendatangkan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim yang berada di Singapura.

Sjamsul merupakan saksi terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada BDNI yang menyebabkan kerugian negara Rp3,7 triliun.

"Nanti kalau memang ada kebutuhan lain sehingga kami perlu kerja sama dengan Interpol sesuai dengan aturan hukum yang ada tentu kami perlu pertimbangkan dengan serius," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu (08/06/2017) malam.

Selain itu, kata Febri, untuk mencari keberadaan Sjamsul itu di Singapura, KPK juga akan melakukan kerja sama dengan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura.

"Karena untuk kerja sama dengan memasukan seseorang ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) itu tidak bisa dilakukan pada saksi hanya bisa dilakukan pada tersangka misalnya," kata Febri.

KPK juga telah memanggil Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri periode 1999-2000 Kwik Kian Gie sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi BLBI.

"Tadi tentang Dipasena, mengenai SKL yang telah diberikan," kata Kwik di gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/6).

Ia pun mengakui terdapat kerugian negara Rp3,7 triliun dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

"Saya katakan, setahu saya iya," kata Kwik yang juga Kepala Bappenas periode 2001-2004 itu. 

KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI.

Karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara. 


0 Komentar