Minggu, 24 September 2017 14:30 WIB

Politik TNI Harus Selamanya Politik Negara

Editor : Rajaman
Panglima TNI di Arena Rakernas Golkar (ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat, Rachland Nashidik meminta Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo agar tetap tenang dan menjaga jarak dari manuver-manuver politik yang sudah menabrak batas kepatutan maupun Undang-undang.

Hal ini disampaikan Rachland Nashidik menyikapi tudingan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo terkait adanya institusi non militer sengaja mencatut nama Presiden dan memesan 5 ribu senjata ilegal.

“Tantangan terbesar kita dalam turbulensi politik akhir-akhir ini kelihatannya adalah menjaga kewarasan politik khususnya kepada Panglima TNI,” kata Rachland dalam keterangan pers, Minggu (24/9/2017).

Rachland pun coba membaca pernyataan saat Panglima TNI membocorkan "data intelejen" bahwa ada institusi di luar TNI hendak membeli 5000 pucuk senjata dengan mencatut nama Presiden Jokowi. "Saya akan serbu", kata Jenderal Gatot. 

Ia juga mengancam akan menyerbu Polisi, "bila polisi membeli senjata untuk menembak tank". Apakah benar ada rencana Polri membeli senjata berat macam itu?

“Kesalahan Panglima TNI yang pertama adalah ia tidak sepatutnya membocorkan data intelejen, apalagi yang sensitif, kepada publik. Ia harus lapor Presiden. Ia dapat juga menyampaikan kepada DPR. Bukan kepada sesepuh dan purnawirawan TNI dalam acara yang diliput luas oleh wartawan dan dipandang sebagai upaya untuk menghimpun dukungan bagi manuver-manuver politiknya,” terangnya.

Tetapi yang secara fundamental paling fatal adalah saat Panglima TNI mengancam akan "menyerbu". Kenapa?

Perlu selalu diingat, dari sisi prinsip democratic accountability , Militer tidak boleh mengambil kebijakan politik. Kenapa? Karena kebijakan politik cuma absah diambil oleh pengelola otoritas negara yang dipilih oleh pemilu demokratik. 

“Panglima TNI tidak dipilih oleh pemilu. Panglima TNI diangkat oleh Presiden. Kewajibannya bukan mengambil kebijakan, melainkan menjalankan dan mengelola operasi,” terang Rachland. 

Salah satu puncak keberhasilan reformasi TNI, lanjut Rachland, adalah memindahkan kebijakan pengerahan dan penggunaan kekuatan angkatan perang dari militer ke tangan otoritas politik pada pasal 3 dan pasal 17 UU TNI. 

Untuk menyegarkan ingatan, dalam pembahasan Rancangan Undang Undang TNI pada awal dekade lalu, yakni awal tahun 2000, siapa berwenang mengerahkan kekuatan TNI ini menjadi polemik sengit. Saat itu, publik menyoroti "Pasal 19" dalam RUU, yang dipandang kontroversial karena mengijinkan Panglima TNI "dalam keadaan mendesak" mengerahkan kekuatan angkatan perang asal dalam tempo 1 x 24 jam lapor pada Presiden. 

Pasal itu, seperti diketahui, melalui perdebatan panjang di DPR yang melibatkan pimpinan TNI, kemudian disepakati digugurkan. 
Walhasil, Undang Undang TNI yang kini berlaku menegaskan kedudukan TNI berada di bawah Presiden (Pasal 3) dan pengerahan kekuatan TNI adalah kewenangan Presiden (Pasal 17).

“Panglima TNI Gatot Nurmantyo melampaui kewenangan dan melanggar Undang Undang saat dia mengancam akan "menyerbu" BIN dan Polisi. Dalam tempat pertama ia tidak boleh mengeluarkan ancaman demikian karena seharusnya ia sadar dan patuh bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI bukan kewenangannya, melainkan kewenangan Presiden atas persetujuan DPR. Politik TNI harus selamanya politik negara, bukan politik Panglima TNI,” tegasnya. 

“Bagi kelangsungan demokrasi, kita semua cukup waras untuk memahami: Pemesanan 5000 senjata serbu oleh badan intelejen, bila itu benar, sama berbahayanya dengan Panglima TNI yang berpolitik praktis dan melampaui kewenangannya,” tandasnya.


0 Komentar