Senin, 25 September 2017 06:09 WIB

DPR Overdosis Awasi KPK

Editor : Rajaman
Rapat Dengar Pendapat dengan Pansus KPK di Gedung DPR. (Foto: Bili)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Masa kerja Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera berakhir pada 28 September mendatang. Hingga kini Pansus KPK belum mengeluarkan rekomendasi sekalipun. Mekanisme dikeluarkannya rekomendasi itu harus melalui rapat internal di Pansus. 

Kemudian dibawa ke rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk dimintai persetujuan dibawa ke rapat Paripurna DPR atau tidak. Apabila dibawa ke rapat Paripurna DPR, maka rekomendasi Pansus nantinya dibacakan di forum tertinggi di parlemen tersebut serta diambil keputusan apakah disetujui oleh mayoritas fraksi atau tidak.

Bocoran beberapa rekomendasi yang akan dikeluarkan Pansus KPK sudah beredar. Empat hal pokok dari 11 temuan sementara Pansus di antaranya, yakni tata kelola kelembagaan, sumber daya manusia, proses peradilan pidana dan tata kelola anggaran.

Terbaru rekomendasi Pansus KPK akan mengarah pada Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Berdasarkan penjelasan situs resmi DPR RI, HMP adalah salah satu hak yang dimiliki anggota lembaga legislatif. Dengan hak ini, anggota legislatif berhak menyatakan pendapat atas beberapa hal sebagai berikut: 

(1) kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional; 

(2) tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket;

(3) dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dosen hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani menyatakan, ‎secara eksplisit DPR memang mempunyai hak untuk menyampaikan HMP atas suatu kebijakan pemerintah atau kejadian luar biasa. 

Namun, lanjut Ismail, selain obyek angket yang masih sumir, HMP Pansus Angket juga akan menjadi lebih sumir dan kehilangan obyek. Sehingga Ismail mempertanyakan siapa yang mau menjadi addres saat dari HMP? KPK apa presiden? 

"Jika KPK lalu apa ujung dari HMP itu tidak jelas. Jika presiden juga keslaahan obyek karena dalan Pansus yang jadi obyek adalah KPK," ujar Ismail Hasani saat dihubungi Senin, (25/9/2017).

Menurut direktur riset Setara Institute ini, DPR‎ overdosis menggunakan seluruh hak-haknya dalam mengawasi KPK. Padahal, jika rapat kerja dengan Komisi III bisa diefektifkan maka lebih dari cukup. "Ini sudah pakai hak angket, pakai hak HMP dan lain-lain. Masih banyak urusan republik ini yang perlu menjadi perhatian DPR‎," katanya.

Dosen hukum tata negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Bilal Dewansyah menjelaskan, HMP bagian dari fungsi pengawasan DPR satu paket dengan hak interpelasi dengan hak angket. Menurutnya, karena konsep hak-hak demikian lebih dekat dengan tradisi sistem parlementer, maka dalam sistem presidensial seperti Indonesia kurang memiliki implikasi hukum. 

Kecuali jika hak angket ditujukan kepada Presiden atau Wapres dapat berujung pada usulan impeacment. Bilal menilai itu pun prosesnya panjang karena harus dibuktikan di MK lalu diputuskan oleh MPR. "Nah ini kan angketnya ditujukan kepada KPK. Jadi HMP tidak mungkin berlanjut pada impeachment," kata Bilal saat dihubungi terpisah. 

Sebab itu, Bilal mempersilakan Pansus DPR menggunakan HMP. ‎"Jadi silakan saja DPR menggunakan HMP tapi implikasi hukumnya tidak ada," jelasnya.


0 Komentar