Sabtu, 14 Oktober 2017 12:25 WIB

Komisi III Tak Percaya Data KontraS Soal Kasus Penyiksaan oleh Kepolisian

Editor : Rajaman
Anggota Pansus Angket KPK Ahmad Sahroni (ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Komisi III DPR tidak percaya dengan data ‎Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang mengungkapkan dalam periode 2010 hingga 2017 telah terjadi peningkatan jumlah kasus penyiksaan yang dialami oleh masyarakat.

"Kalau melihat data sepertinya tidak demikian, karena institusi pasti ada sedikit kelalaian. Tapi bukan berarti tidak ada evaluasi. Pasti akan ada pembenahan yang baik. Tidak percaya (data KontraS)," kata anggota komisi III DPR, Ahmad Sahroni saat dihubungi, Sabtu (14/10/2017).

Berdasarkan dokumentasi Kontras, pelaku penyiksaan paling banyak berasal dari institusi Polri. Sementara korbannya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah, yang sulit mengakses informasi terkait bantun hukum.

Periode 2010 hingga 2011, Kontras mencatat ada 28 kasus penyiksaan. Jumlahnya bertambah menjadi 86 kasus pada 2012.‎ Jumlah kasus penyiksaan sempat menurun menjadi 84 kasus pada periode 2014 hingga 2015. Hal itu disebabkan oleh isu kampanye pilpres yang tinggi sehingga Kontras kesulitan untuk mendokumentasikan kasus penyiksaan yang terjadi. Setelah itu, jumlah kasus penyiksaan meningkat drastis pada periode 2015 sampai 2016 yakni sebanyak 134 kasus dan periode 2016 sampai 2017 sebanyak 163 kasus.

Mereka yang menjadi korban rata-rata adalah warga sipil yang diindikasi terlibat dalam tindak kriminal. Praktik penyiksaan yang dilakukan biasanya bertujuan agar korban mengakui perbuatannya atau menggali informasi.

Berdasarkan laporan Kontras pada periode Juni 2016 sampai Mei 2017 kasus penyiksaan banyak terjadi di ruang tahanan Polres, yakni 32 kasus dan ruang tahanan Polda sebanyak delapan kasus.

Sebagai mitra kerja Kepolisian, kata Sahroni, selama ini melakukan pengawasan tidak menemukan terjadinya peningkatan kasus penyiksaan oleh aparat kepolisian meningkat.  "Di permukaan sepertinya hanya terlihat tidak meningkat. Pada kenyataannya bagus proses perbaikan," ungkapnya. 

Meski demikian, Sahroni meminta Polri memperbaiki kinerjanya dengan adanya data dari KontraS tersebut. "Perbaikan untuk Polri harus lebih aktif agar segala kekurangan dapat menjadi perbaikan," ujarnya.

Sebelumnya, Mabes Polri sudah memberikan tanggapan terhadap riset mengenai masih adanya penyiksaan oleh oknum anggotanya, berdasarkan riset Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Jika memang terbukti ada penyiksaan, maka Polri akan menindaklanjuti dengan melakukan proses hukum. 

"Kalau memang terbukti ada fakta-fakta yang menunjukkan benar ada penyiksaan maka akan diproses," kata Inspektur Wilayah V pada Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri Brigjen Syaiful Zachri.

‎Adanya penyiksaan yang dilakukan anggota kepolisian merupakan cerminan masih kurangnya kualitas sumber daya manusia (SDM) dan sarana serta prasarana penyidikan.

Menurut Syaiful, anggota berpangkat bintara kemungkinan besar bisa melakukan hal tersebut. Pasalnya, pendidikan yang hanya memakan waktu tujuh bulan belum cukup membuat mereka paham prosedur dan aturan hukum dalam KUHAP.

Pendidikan tujuh bulan berupa tiga bulan perubahan mindset dari warga sipil ke anggota dan empat bulan teknis seperti mempelajari KUHAP dianggap Syaiful masih kurang. 

‎Namun, Syaiful tak serta merta menyalahkan anggotanya atas adanya penyiksaan terhadap warga sipil. Menurut dia, polisi akan bersikap baik jika masyarakat dan lingkungan yang ada mendukung anggotanya bersikap baik.

"Tetapi atas nama Polri, kami mohon maaf jika memang terjadi hal demikian dan tidak akan menolerir anggota kami yang melakukan penyiksaan itu," kata.


0 Komentar