Minggu, 13 Mei 2018 15:29 WIB

Sejarah Berbicara, Letnan Jenderal TNI Ali Moertopo

Editor : A. Amir
Letnan Jenderal TNI Ali Moertopo

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Sudah banyak cerita memuat profil tentang salah satu tokoh sejarah era Orde Baru, tidak menyurutkan Redaksi untuk juga mengulasnya kembali sejarah mengenai Letnan Jenderal TNI Ali Moertopo. Tokoh yang menarik karena dialah pemikir, tokoh intelijen, dan politikus yang berperan penting dalam pemerintahan masa Orde Baru. Lahir di Blora, 23 September 1924, meninggal di Jakarta, 15 Mei 1984.

Biografi Singkat Ketokohan Ali Moertopo

  • Deputi Kepala (1969-1974), dan Wakil Kepala (1974-1978) Badan Koordinasi Intelijen Negara (sekarang Badan Intelijen Negara/BIN)
  • Menteri Penerangan 1978 – 1983 pada Kabinet Pembangunan III (sekarang Kementerian Komunikasi dan Informatika/Kemkominfo).

Ali memang bukan lahir dari lingkungan tentara. Pakde Ali Moertopo, Ali Rahman, yang membesarkannya adalah seorang ulama sekaligus pendidik. Sedari bayi Ali Moertopo tinggal bersama pakdenya yang mendirikan sekolah partikelir di Pekalongan.

Sementara ayahnya Raden Sutikno Kartoprawiro adalah seorang pedagang di Blora, yang meninggal saat Ali Masih kecil. Ibu Ali Moertopo, Soekati, melahirkan Ali Moertopo pada 23 September 1924 di Blora, Jawa Tengah. Ayahnya Kartoprawiro konon masih memiliki garis keturunan Pangeran Diponegoro.

Terlepas adanya kekurangan pada sosok Ali Moertopo semasa Almarhum berkarya untuk Nusa dan Bangsa, tiadalah manusia yang sempurna. Ada beberapa karyanya fenomenal sampai sekarang yang patut dijadikan pelajaran dan inspirasi berharga bagi generasi penerus bangsa ini. 

  • Ali Moertopo berperan besar dalam melakukan modernisasi intelijen Indonesia.
  • Pada 1968, Ali menggagas peleburan partai-partai politik menjadi beberapa partai saja agar lebih mudah dikendalikan. Hal itu kemudian terwujud pada 1973 ketika semua partai melebur menjadi tiga partai, Golkar, PPP (penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan partai-partai berbasis nasionalis).
  • Pada 1971, bersama Soedjono Hoemardhani, ia merintis pendirian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang merupakan lembaga penelitian kebijakan pemerintahan. Pada tahun 1972, ia menerbitkan hasil tulisannya yang berjudul “Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun” yang selanjutnya dijadikan MPR sebagai strategi Pembangunan Jangka Panjang (PJP).

Punya kegemaran berceramah dan pidato. Ia orator yang pandai memukau publik, sekalipun tak sekaliber Bung Karno. Merupakan tokoh yang kontroversial, Ali Moertopo – seperti ditulis dalam Apa Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1983-1984, yang diterbitkan majalah TEMPO – dijuluki sementara pengamat sebagai man of opinion. Itu memang dibuktikannya selama ini: Ia selalu berorientasi pada pencapaian tujuan, bisa cepat menjabarkan setiap tujuan yang dlanutnya ke dalam serangkaian tindakan.

“Dulu, saya tak berangan-angan jadi tentara. Malah sewaktu masih di SMP, bila teman orangtua atau paman saya yang menjadi tentara datang, saya tidak begitu senang. Pada zaman pendudukan Jepang, bila teman-teman lama yang masuk Peta datang ke rumah, rasanya kok menakutkan. Saya juga ndak pernah ikut latihan militer, seperti Seinendan dan Keibodan. Waktu semua orang belajar bahasa Jepang, saya juga tidak ikut. Sampai sekarang, saya hanya tahu satu kata Jepang saja: sayonara”.

“Baru pada awal proklamasi, saya tergerak untuk ikut perjuangan. Dimulai dengan masuk Hisbullah, mengikuti teman-teman sekampung. Kemudian saya memasuki AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia). Ketika masih bergerilya dengan pangkat prajurit, saya hanya menginginkan menjadi sersan mayor. Entah kenapa, tapi rasanya menjadi sersan mayor kok gagah. Setelah saya menjadi bintara, saya memimpikan menjadi kapten. “Tuhan, mbok saya diberi kesempatan menjadi kapten,” doa saya setiap habis menunaikan salat. Setelah menjadi kapten, saya tidak pernah punya ambisi lagi. Waktu masih perwira, saya tidak senang kalau ada orang bicara politik. Kalau teman-teman saya bicara politik, pistol yang saya cabut. Tapi kalau orang bicara teknik dan strategi kemiliteran, atau semangat korps, saya mau meladeninya. Sejak masih prajurit, saya lebih senang berkecimpung di medan pertempuran. Sehingga, atasan saya Pak Yoga Soegomo pernah berkata, “Selama di Indonesia ini masih ada kekacauan, pasti kamu naik pangkat. Tapi kalau Indonesia sudah tenang, jangan harap kamu naik pangkat.” Tapi promosi saya ternyata tidak berhenti. Sudah mau aman, ada PRRI, Trikora, dan Dwikora. Kemudian, saya pikir sudah akan selesai. Ternyata, masih ada Orde Baru. Selama meniti karier di luar militer, saya merasa beruntung. Dari militer kok bisa menjadi menteri, lalu menjadi pejabat lagi di DPA. Waduh, senangnya tak terkirakan. Ini merupakan pengalaman yang tidak mudah tercapai teman-teman lain. Jadi, kalau saya main-main, tidak bersungguh-sungguh mengabdi pada bangsa dan negara, berarti saya telah berkhianat”.

"Hidup itu hanya sekali dan sifatnya hanya mampir minum.” Kata-kata itu diucapkan oleh Letnan Jenderal (pur.) Ali Moertopo dalam suatu wawancara khusus TEMPO, “Masa hidup itu harus digunakan sebaik-baiknya, kita harus bekerja semaksimal mungkin, untuk bangsa dan negara.” Ali Moertopo, tokoh yang tersohor itu, meninggal di ruang kerjanya, di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa Pahing, 15 Mei 1984.

Bangsa yang Besar Adalah Bangsa yang Menghargai Jasa Pahlawannya. (AA)


0 Komentar