Senin, 19 November 2018 12:38 WIB

Ekonomi RI Dinilai Cukup Kuat

Editor : Yusuf Ibrahim
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi global. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com- Pertumbuhan ekonomi global akan berada di angka 3,7% dengan bias ke bawah, disebabkan oleh kecenderungan ekonomi di luar AS yang mengalami perlambatan.

Kekuatan ekonomi AS masih tinggi untuk menopang perekonomian global, namun di kawasan lain mengalami perlambatan ekonomi termasuk Tiongkok.

"Artinya, secara umum aliran modal masih alami perlambatan ke negara emerging market. Di beberapa negara emerging ada outflow, selain itu masalah ketidakpastian di negara berkembang juga masih tinggi," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo saat pelatihan media massa di Solo, Jawa Tengah. 

Pertumbuhan ekonomi di Tiongkok yang melambat disebabkan oleh berlanjutnya proses deleveraging di sistem keuangan dan pengaruh ketegangan hubungan dagang dengan AS. Sementara itu, di Indonesia masih akan menghadapi kenaikan Fed Fund Rate (FFR), probabilitas pada Desember, dan tekanan di pasar keuangan. Indonesia juga masih menunggu pertemuan antara Presiden AS dengan Presiden Cina pada akhir bulan ini. 

Dari situ, diharapkan akan ada hasil positif yang mempengaruhi pasar global. "Sehingga kalau dilihat, negara emerging mengalami inflow dari aliran modal. Ini yang berimbas di domestik ada inflow di saham, corporate bonds dll," paparnya.

Secara global, awal tahun 2019 negara maju akan melakukan kebijakan moneter nomalisasi. Artinya, inflasi di negara maju akan mendekati di level yang netral sehingga kalau inflasi tinggi maka akan melakukan penyesuaian kebijakan suku bunga. "Tentunya di negara-negara emerging menjadi salah satu tantangangan. Kalau negara maju naikan suku bunga, maka negara berkembang akan antisipasi," imbuhnya. 

Ekspektasi inflasi AS juga tetap tinggi sehingga the Fed diprakirakan melanjutkan kenaikan suku bunga kebijakannya. Adapun di Eropa, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat di tengah inflasi yang dalam tren meningkat. Normalisasi kebijakan moneter di Eropa yang saat ini dilakukan melalui pengurangan pembelian aset keuangan diperkirakan masih akan terus berlanjut. 

Pertumbuhan ekonomi dunia yang melandai dan risiko memburuknya hubungan dagang antar negara akan berdampak pada tetap rendahnya volume perdagangan dunia. Sejalan dengan itu, harga komoditas dunia menurun, termasuk harga minyak dunia yang kembali menurun akibat prospek meningkatnya pasokan.

Meski demikian, kata Dody, Indonesia masih mempunyai catatan pertumbuhan yang cukup kuat. Walaupun suku bunga BI 7 Day repo rate naik sebesar 150 bps, tetapi ekonomi masih bisa tumbuh 5% dimana pendorongnya konsumsi dan investasi. 

Sementara pada akhir tahun 2018, ekonomi Indonesia masih tumbuh 5,2%. "Investasi tumbuh menunjukkan ekonomi cukup kuat, dengan suku bunga yang cukup tinggi masih bisa dorong infrastruktur seperti proyek pemerintah. Non bangunan tumbuh karena harga komoditi masih positif cukup mendorong investasi," paparnya.(exe/ist)


0 Komentar