Selasa, 12 Februari 2019 12:09 WIB

Tren Kenaikan Hoaks Cukup Signifikan

Editor : Yusuf Ibrahim
Ilustrasi hoaks. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapialrnews.com- Waspadai gempuran hoaks jelang Pemilu 2019. Peringatan ini perlu disampaikan mengingat ada tren kenaikan hoaks yang cukup signifikan.

Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), pada Januari 2019 ditemukan lebih dari 70 hoaks. Jumlah ini meningkat dibanding 10 bulan lalu sebanyak 60 hoaks.


Keprihatinan peningkatan hoaks ini disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo.

Walaupun tidak mudah untuk menangkalnya, mereka menandaskan pemerintah akan melakukan langkah aktif untuk mencegah penyebarluasan hoaks. “Januari ini 70 lebih. Ini baru satu bulan dan perkiraannya akan meningkat,” kata Rudiantara di Hotel Bidakara kemarin.

Menurut Rudiantara, untuk menghadapi masalah tersebut, pihaknya tidak hanya menunggu laporan masyarakat, tapi juga melakukan penyisiran. Di sisi lain, Kemenkominfo tetap akan berusaha transparan kepada masyarakat. Dia menyebut, setiap hoaks yang sudah diverifikasi dapat dilihat di portal stophoax.id.

“Sekarang kami membuat jaringan setiap hari bukan orang mengambil akses ke stophoax.id, tapi kami sarikan dalam bentuk pdf. Kami berikan kepada teman-teman media, teman-teman network yang jejaringnya memang sangat concern pada masalah hoaks agar masyarakat lebih tahu lagi bahwa ini hoaks atau bukan,” ungkapnya.

Dia pun meminta agar masyarakat turut terlibat aktif dalam penanganan hoaks. Partisipasi bukan hanya melaporkan ada temuan hoaks, melainkan juga dengan membagikan informasi yang belum jelas kebenarannya. “Termasuk media untuk melaporkan kalau ada hoaks, kami akan verifikasi, kami validasi, dan kami akan kembalikan ke teman-teman media,” ucapnya.

Rudiantara lebih jauh menjelaskan, idealnya penangkalan hoaks dilakukan dengan meningkatkan literasi masyarakat. Namun, hal tersebut membutuhkan waktu yang tidak sebentar. “Cuma literasi ini jangka panjang. (Literasi) membuat masyarakat Indonesia mampu memilah dan memilih konten positif dan negatif. Ini jangka panjang, tapi sangat efektif. Kedua, kita melakukan midstream istilahnya. Kami melakukan penyisiran-penyisiran,” katanya.

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menegaskan hoaks sangat merugikan, termasuk bagi pemerintah sebab keberadaan hoaks mematahkan kerja yang selama ini sudah dilakukan oleh pemerintah.
“Pemerintah sudah bekerja luar biasa, tapi dipatahkan dengan semburan berita tidak jelas, berita bohong, dan fitnah,” tuturnya.

Menurut dia, jika hoaks terus diembuskan secara konsisten, maka akan melahirkan sebuah post-truth.Dalam hal ini ada kecenderungan orang tidak lagi menggunakan logika dalam mencari kebenaran, tapi lebih pada pembenaran sesuai dengan opini pribadi. “Ini memunculkan keragu-raguan karena disemburkan terus-menerus dan konsisten. Maka, sebagian besar kita kehilangan logika dan menyatakan itu benar. Ini sungguh berbahaya siapa pun dia yang menyampaikan,” katanya.

Mantan panglima TNI ini lantas menyebut kondisi saat ini sebagai fenomena revolusi lima jari. Revolusi jari merupakan perubahan arus informasi yang bisa dilakukan siapa pun hanya bermodalkan gadget dan kecepatan jarinya.

“Saya menamakannya revolusi jari. Di mana sebuah berita ditentukan kecepatan hanya dalam waktu 30 detik. Begitu kita membaca berita-berita, tanpa memindai, tanpa mengetahui kebenaran, jari kita sudah bermain. Tak peduli berita itu benar atau tidak, masa bodoh jari kita. Situasi ini harus diwaspadai,” tuturnya.

Dia mengakui tidak mudah menghadapi hoaks. Apalagi berdasarkan data sebuah lembaga menunjukkan sebanyak 88,4% masyarakat Indonesia berbicara tentang SARA. Karena itu, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas. “Tidak peduli siapa pun dia, harus penjarakan, penjarakan saja. Tidak ada takut kita. Karena apa? Ini sumber perpecahan. Kalau tidak ditangani secara tegas, kita nanti menuju pada the point of no return. Setelah kita berantakan, baru kita sadar bahwa kita telah rusak,” paparnya.

Senada, Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa saat ini terjadi fenomena tsunami informasi. Fenomena ini cenderung mengaburkan sejumlah fakta. Dia mengaku sering kali informasi yang dikeluarkannya tidak disampaikan secara utuh sehingga berdampak pada pengaburan fakta.

“Namun, kadang pula informasi yang saya sampaikan dikutip tidak lengkap, yang kemudian berkembang jadi hoaks. Agar informasi publik tidak kabur, saya minta humas pemda dan pemerintah pusat tidak ragu-ragu saling koordinasi agar menginformasikan secara utuh dan lengkap program pemerintah,” jelasnya.

Tjahjo juga berharap peran kehumasan mampu menetralisasi dan merespons cepat jika ada berita yang bermuatan ujaran kebencian, fitnah, hoaks, berita bohong, ataupun politisasi SARA. Hal ini untuk menghadirkan suasana kondusif dan masyarakat tidak terbawa arus informasi salah.

“Humas adalah aparatur negara yang harus merawat dan menjaga iklim hidup bernegara dan bermasyarakat dalam keadaan apa pun,” pungkasnya. dita angga

Sementara itu, pakar teknologi informasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Ismail Fahmi menilai hoaks sebenarnya sudah ada sejak lama dengan berbagai macam isu. Selain itu, tren hoaks juga selalu meningkat di setiap event politik, apalagi jelang pilpres dan pileg seperti saat ini.

“Jenis hoaks politik saat pilpres meningkat, yaitu untuk kepentingan dalam memengaruhi opini publik. Hanya saja hoaks ini kebanyakan diciptakan orang yang tidak jelas,” terangnya.

Kendati begitu, agar hoaks ini tidak berkepanjangan, yang merasa tidak membuat hoaks harus segera melakukan klarifikasi sehingga publik mengetahui berita hoaks itu tidak benar. Selain itu, juga perlu ada literasi kepada masyarakat dalam mencermati pemberitaan hoaks ini. Hanya saja untuk literasi tersebut memang memerlukan waktu.

Adapun sosiolog media Universitas Gadjah Mada (UGM) M Sulhan mengatakan, meski tidak ada riset yang cukup kuat untuk mengaitkan hoaks dengan pilpres, namun secara kasar-mata hoaks memang cenderung naik saat momentum pemilu maupun pilkada. Hal ini memang karena arus hoaks mengalir dengan kepentingan politik dan ekonomis.

“Ada dua pemicu hoaks ini. Pertama, karena partisipasi dan simpatisan. Kedua, muncul karena momentum dan kesempatan. Keduanya kemudian bersinergi sedemikian rupa. Mungkin karena hajat politik yang membuat magnitude-nya bertambah,” paparnya.(ist)


0 Komentar