Rabu, 28 Agustus 2019 12:56 WIB

Naskah Kajian Pemindahan Ibu Kota, Fahrii: Studi Bappenas Terlalu Dangkal

Editor : Rajaman
Fahri Hamzah

JAKARTA , Tigapilarnews.com - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan sudah membaca naskah kajian setebal 160 halaman dengan format Power Point, terkait rencana pemindahan Ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur yang baru saja dikirimkan oleh Presiden Jokowi ke DPR RI. 

Secara pribadi, ia menilai studi yang dilakukan oleh Bappenas itu terlalu dangkal, kurang membaca perspektif historis sosiologis terhadap lahirnya Jakarta sebagai Ibukota.

"Tapi harus kita sambut naskah kajian itu sebagai semacam pemberitahuan awal, karena itu bukan draf RUU atau naskah akademik. Karena dalam sistem kita itu punya standar dokumen dan bentuknya. Karena itu saya lihat adalah PowerPoint dari Bappenas, maka saya menganggap itu adalah presiden meneruskan surat Bappenas ke DPR sebagai pemberitahuan awal," ucap Fahri Hamzah melalui pesan suara yang diterima wartawan, Rabu (28/87/2019).

Tetapi, lanjut Fahri, perlu diketahui bahwa DPR periode ini akan berakhir tanggal 30 September. Berakhirnya periode ini dalam sistem kita itu, tidak carry over terhadap periode yang akan datang. 

Karenanya nanti akan ada kewajiban kembali presiden untuk menyampaikan surat yang sama sebagai pemberitahuan awal kepada DPR mendatang, sebagai salah satu pemangku kepentingan, terutama dalam legislasi dan anggaran bahwa pemerintah memiliki studi rencana pemindahan Ibukota dengan berbagai alternatif yang disebutkan.

"Nah, DPR yang akan datang lah nantinya akan memulai mengajak masyarakat melakukan perdebatan sosialisasi dan sebagainya. Dan saya kira tidak cukup hanya DPR tetapi juga DPD, MPR dan juga stakeholder lain di daerah-daerah, ya Provinsi, Kota/Kabupaten," ujarnya.

Sebab, menurut Pimpinan DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rayat (Korkesra) itu, maslah pemindahan Ibukota itu, tidak bisa hanya menjadi keputusan politik pemerintahan yang sifatnya itu temporer begitu. Tetapi harus merupakan satu kehendak bersama.

"Itulah yang disebabkan kenapa banyak yang mengusulkan agar dilakukan referendum, meskipun menurut saya itu prosesnya terlalu rumit. Bahkan sebenarnya, ada banyak ketidakmampuan secara teknis membaca keperluan kita hari ini, dengan kondisi masyarakat dan juga keuangan kita hari ini," katanya.

Sebenarnya menurut Fahri, kalau toh pemerintah ingin memerlukan pusat administrasi pemerintahan daerah atau yang disebut seperti contoh di Malaysia dengan Federal Territory-nya, maka hanya memerlukan tanah seluas kalau Putrajaya itu cuma 49 km2. Kalau negara sebesar Amerika saja Washington DC hanya 17 X 10 Km.

"Sama juga dengan negara-negara lain seperti Brazilia kemudian Kambera dan sebagainya, itu luasnya sangat kecil tidak memerlukan pemindahan Pulau, hanya perlu memindahkan kantor-kantor pemerintah. Itulah sebabnya opsi terbaiknya dulu Pak Harto berencana memindahkannya ke Jonggol," terang politikus PKS ini.

Oleh karena itu, Fahri mengusulkan lebih baik itu dipindahkan ke Pesisir untuk melambangkan Indonesia sebagai negara maritim, mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah pulau yang paling besar di dunia setelah Kanada atau garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada, negara yang pulaunya begitu banyak. 

"Lebih baik menyimpulkan negara Pesisir ini. Jadi di Teluk Jakarta itu kantor pemerintahan, di pusat ini ada pasar. Kalau kita melihat model di Kanbera itu, ada Troika dia ada pusat pasar, ada pusat pemerintahan dan ada community center gitu. Nah, ini saja yang dibikin, jadi Troika nya adalah Teluk Jakarta sebagai pusat pemerintahan, Jakarta Pusat itu adalah kantor, ada pasar begitu, lalu community center nya itu bisa pindah misalnya ke daerah Bekasi," tandasnya.


0 Komentar