Selasa, 25 Oktober 2022 15:10 WIB

Kasus Gangguan Ginjal Akut, Kemenkes dan BPOM Dinilai Potensi Maladministrasi

Editor : Yusuf Ibrahim
Ilustrasi. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com- Ombudsman RI menilai dalam kasus gangguan ginjal akut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berpotensi melakukan maladministrasi.

Artinya, ada potensi kecerobohan yang dilakukan kedua lembaga pemerintah tersebut hingga akhirnya menyebabkan kematian pada 141 balita se-Indonesia.

Oleh karena itu, Ombudsman meminta kepada Kementerian Kesehatan dan BPOM untuk segera melakukan tindakan korektif terhadap beberapa poin yang ditemukan Ombudsman sebagai dasar penetapan adanya potensi maladministrasi dalam kasus gangguan ginjal akut.

"Jadi, kami minta kepada Kemenkes dan BPOM untuk tunjukkan akuntabilitas kalian kepada masyarakat atas kasus ini," terang Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng dalam konferensi pers virtual, Selasa (25/10/2022).

Ia melanjutkan, pada kasus gangguan ginjal akut ini negara dianggap gagal memberikan perlindungan berupa jaminan keselamatan rakyat, terlepas hingga sekarang belum ada penyebab konklusif penyakit ini.

Lantas, apa penilaian Ombudsman hingga menyatakan ada potensi maladministrasi yang dilakukan Kemenkes dan BPOM? Ada tiga poin yang menjadi dasar penilaian untuk Kemenkes, yaitu:

1. Kemenkes RI tidak memiliki data pokok terkait sebaran penyakit baik tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat, sehingga menyebabkan terjadinya kelalaian dalam pencegahan atau upaya mitigasi kasus gangguan ginjal akut ini.

2. Atas ketiadaan data tersebut, Kemenkes tidak dapat melakukan sosialisasi berupa pemberian informasi kepada publik terkait penyebab dan antisipasi gangguan ginjal akut, sehingga dapat diartikan sebagai ketiadaan keterbukaan dan akuntabilitas informasi yang valid dan terpercaya terkait masalah ini.

3. Ketiadaan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus gangguan ginjal akut oleh seluruh pusat pelayanan kesehatan baik di faskes tingkat pertama maupun faskes tingkat lanjut, sehingga menyebabkan belum terpenuhinya standar pelayanan publik (SPP) termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium.

"Jadi, bisa kami rangkum bahwa data yang dimiliki Kemenkes tidak valid dan komprehensif hingga sekarang. Kemudian, hak masyarakat untuk mendapat informasi juga tidak terpenuhi karena datanya tidak valid, dan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus tidak memenuhi standar pelayanan publik," ungkap Robert.

Sementara potensi maladministrasi di pihak BPOM dinilai Ombudsman ada di tahap pre-market dan post-market. BPOM dianggap lalai di dua tahapan tersebut. Berikut catatan Ombudsman untuk mendukung penilaiannya bahwa BPOM juga berpotensi melakukan maladministrasi:

1. Pada tahap pre-market, Ombudsman menilai bahwa BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi, karena membiarkan produsen melakukan uji mandiri.

2. Masih dalam pre-market, Ombudsman juga menilai bahwa terdapat kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM dengan implementasi di lapangan.

3. Tetap di pre-market, Ombudsman menilai bahwa BPOM wajib memaksimalkan tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar.

4. Nah, pada post-market Ombudsman menilai dalam tahapan ini perlu adanya pengawasan BPOM pasca pemberian izin edar.

5. Di post-market juga, Ombudsman menilai BPOM perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar. Dengan penilaian itu semua, Ombudsman berani menyatakan bahwa ada potensi maladministrasi yang dilakukan Kemenkes dan BPOM.

Soal sanksi, Robert menjelaskan bahwa dalam tahapannya, kedua lembaga pemerintah tersebut akan diberi kesempatan untuk korektif.

"Jika memang belum ada perbaikan, Ombudsman akan melakukan sidak kepada Kemenkes, BPOM, bahkan BPJS Kesehatan untuk memastikan hak masyarakat mendapatkan keselamatan terjamin," ungkap Robert.(mir)


0 Komentar