Selasa, 05 September 2023 02:01 WIB

Bali Sedang Tidak Baik-Baik Saja Ditengah Gempuran Globalisasi dan Keterpurukan Lingkungan

Editor : A. Amir
Insan-insan peduli lingkungan yang tergabung dalam Ikatan Komunitas Peduli Lingkungan (IKPL) provinsi Bali yang bertempat di Fortunate Coffee Bali, Maha Vihara Maitreya Bali, hari Minggu (3/09/2023)

Bali, Tigapilarnews.com - Hal itulah yang menggerakkan insan-insan peduli lingkungan yang tergabung dalam Ikatan Komunitas Peduli Lingkungan (IKPL) provinsi Bali yang bertempat di Fortunate Coffee Bali, Maha Vihara Maitreya Bali, hari Minggu (3/09/2023).

Tujuan utama dari pertemuan ini adalah menguraikan penyebab kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai sudut pelosok wilayah di Bali beserta dampak yang ditimbulkannya; kemudian mencari solusi bersama tentang peta jalan (road map) kebijakan tepat sasaran, yang dapat berjalan dengan sinergis antar-lembaga, yang sinkronisasi antara pemangku kebijakan (pemerintah) dan pelaksana di lapangan (komunitas masyarakat). 

Isu kebijakan lingkungan menjadi penting untuk dibahas karena isu lingkungan hidup menjadi kepentingan bersama karena permasalahan lingkungan hidup selalu mempunyai efek global dan bersifat transnasional. Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam Bali secara berlebihan yang terjadi hingga saat ini dapat berdampak negatif ke negara lain. Lingkungan menjadi isu yang relevan di Bali saat ini kerena Bali sedang mencoba bertahan di tengah gempuran globalisasi dan keterpurukan lingkungan.

Komunitas yang ikut ambil bagian antara lain adalah komunitas Eco-Enzyme Nusantara, Social Project Bali, The Sea Cleaner, Mangrove Ranger, The Trash Hero Indonesia, Think Policy Indonesia (Think Hub Bali-Nusra), Asosiasi Bartender Indonesia, PSE Keuskupan Denpasar, Kisara (Kita Sayang Remaja), Kerthi Bali Research Center (KBRC), Putra-Putri Maritim Indonesia, dan Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana. Kegiatan diskusi ini melibatkan akademisi dan juga praktisi lingkungan yang sudah sangat mumpuni di bidangnya. Peran vital masing-masing organisasi dalam aktivisme lingkungan adalah sebagai satu jaringan yang tak terpisahkan yang bergerak menangani isu lingkungan di berbagai daerah di Bali, mulai dari tingkat banjar, tingkat desa, tingkat kecamatan, maupun pemerintah kabupaten.

Implementasi Ekonomi Kerthi Bali yang sudah berjalan 2 tahun terakhir, khususnya merujuk pada Pergub Bali No.97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai dan Pergub Bali No.47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber harus dibahas kembali? Pasalnya, ketidaktuntasan pengejawantahan bahasa tersirat dan bahasa tersurat pada peraturan menyebabkan strategi implementasi belum sepenuhnya tepat guna dan tepat sasaran. Usut punya usut, Bali merupakan Provinsi pertama atau dapat dikatakan sebagai pionir yang secara gamblang mengatur hal ini dalam hukum tertulis yang terintegrasi langsung dengan hukum adat (disebut awig-awig) setiap Desa Adat di Bali. Hal itu pun turut memantik beberapa daerah lain seperti Provinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) untuk menetapkan regulasi serupa. Fenomena tersebut menjadi relung yang sangat tepat untuk diisi oleh komunitas peduli lingkungan sebagai eksekutor kebijakan. Oleh karenanya, proses sinergi antara berbagai komunitas peduli lingkungan harus terjadi secara berkesinambungan. Kerjasama itu terlihat selama pertemuan Leaderless Group Discussion (LGD) ini. Setiap komunitas dengan masing-masing ke-khas-an subjek lingkungan dan wilayah percontohan saling memaparkan kegiatan yang telah dilaksanakan dan menjelaskan progress beserta kendala yang masih tetap terjadi selama proses penanganan isu lingkungan.

Weda Sugama dari Enzim Bakti Pertanian mengemukakan bahwa Pergub 47 secara teoritis sangat baik, namun pada praktiknya sering berbenturan dengan masyarakat. Pemilahan sampah rumah tangga dari sumbernya oleh masyarakat membutuhkan faktor why yang kuat. Pasalnya, masyarakat kerap dihadapkan pada kenyataan bahwa ada fasilitas “mudah” yang disediakan oleh pemerintah Desa baik adat maupun dinas yang dapat “dibeli” dengan sejumlah kecil uang, yakni pengangkutan sampah rumah tangga tanpa pilahan. Adapun komunitas lain juga menjalankan langkah-langkah konkret dengan metode dan subjek yang berbeda. Seperti semboyan negara kita Bhineka Tunggal Ika, segenap pihak mengambil peran untuk satu tujuan yang satu yaitu memperbaiki kualitas lingkungan di bali.

Keuskupan Denpasar mengambil peran dengan siap membantu mengoordinasikan pemilahan sampah dan kegiatan lainnya di wilayah keuskupan, seperti sosialisasi pengurangan sampah plastik dan pengurangan sampah rumah tangga. Hingga saat ini Keuskupan Denpasar sudah menginisiasi kegiatan serupa di wilayah Bali dan Lombok bekerja sama dengan Plastic Bank. Kendala yang kerap dihadapi adalah kurangnya dukungan lingkungan sekitar untuk melakukan hal yang sama. Misalnya ada yang sudah mengikuti sosialisasi/pelatihan pengolahan dan pemilahan sampah, namun semangat dengan implementasi yang berangsur-angsur menurn karena tetangga “masih” membuang sampah rumah tangga sembarangan. Himpunan semangat muda akan selalu siap mendukung untuk melakukan audiensi ke Gubernur Bali untuk mendorong regulasi terusan berupa surat edaran disampaikan oleh Dhani Armadhani selaku aktivis dari Social Project Bali, yakni sebuah organisasi non-profit yang bergerak di bidang pendidikan, lingkungan, dan sosial kemanusiaan yang seiring berjalannya waktu komunitas ini juga menjadi penghubung antara perusahaan yang ingin menyalurkan CSR-nya kepada masyarakat yang dinilai membutuhkan. di mana dengan Komunitas dari kalangan remaja yakni KISARA Bali mengambil peran dengan siap mendukung melalui advokasi ke remaja dan diseminasi hasil penelitian/kajian.

Tanggapan masyarakat Bali terhadap upaya ini dalam menangani masalah sampah adalah sangat positif dan bersemangat. Pak Bambang menyerukan bahwa bila kita mencanangkan pilot project, misal menentukan lokus pada Banjar/Desa/Kelurahan tertentu untuk melakukan edukasi, rekayasa perilaku sosial, kajian dsb. BIla hasilnya telah didapatkan maka bisa ditindaklanjuti dengan melakukan audiensi ke pemerintah Provinsi. Setelah program piloting berhasil, dapat dilakukan expose dan menggalang dukungan untuk mereplikasi program ke daerah lain.

Pesan utama atau kesan yang ingin disampaikan oleh aktivis lingkungan kepada masyarakat Bali melalui pertemuan ini yaitu berbicara tentang isu lingkungan khususnya pengelolaan sampah, benturan dengan Desa Adat dan Desa Dinas kerap terjadi. Satu sisi baik Desa Adat maupun Desa Dinas memiliki anggaran untuk memfasilitas pengangkutan sampah bagi warga, namun di sisi lain warga diminta untuk melakukan pemilahan dari sumbernya. Hal ini kontradiktif dan terkesan tidak saling mendukung satu sama lain.

Terdapat tantangan atau hambatan yang diidentifikasi selama pertemuan yaitu perilaku yang kembali ke semula jika belum mendapatkan pengawasan penuh dan terkait faktor pendanaan dari pemerintah daerah. Hal tersebut sangat dirasakan oleh Komunitas B3, di mana masalah utama yang sebenarnya adalah sampah yang sudah dipilah disatukan kembali karena belum ada kesatuan visi antar stakeholder. Komunitas ini telah sukses melakukan program edukasi dan pendampingan ke 10 banjar selama 9 bulan dengan hasil berupa pengelolaan mandiri total 6000 ton sampah / tidak dibuang ke TPA. Salah satunya adalah Dusun Cemenggaon, Desa Celuk, KEcamatan Sukawati, Gianyar. Program yang dilakukan diantaranya adalah Teba Modern melalui penampungan sampah aktif. Pemilahan sampah organik disalurkan ke Teba Modern, sementara sampah Anorganik disalurkan ke Bank Sampah aktif yakni biasanya sampah terbuang percuma padahal memiliki nilai ekonomi.

Hal ini tidak bisa dilakukan tanpa komitmen kuat dari pada leader dari masyarakat, dalam hal ini Kelian, Bendesa, dan Kepala Desa/Lurah. BBB menandatangani MoU sehingga komitmen tersebut dituangkan dalam media resmi. Sistem pengelolaan sampah mandiri pedesaan yang ditata oleh Desa Adat seharusnya masuk melalui awig-awig. Diawali dengan paksaan, menjadi kebiasaan, dan diakhiri sebagai kebutuhan. Cara mereduksi sampah plastik adalah dengan mengurangi pemakaian dan mengolahnya tanpa melakukan pendekatan yang terlalu ekstrim misalnya penutupan pabrik plastik. Dengan menurunkan demand, otomatis supply akan turun. Perilaku membuang sampah sudah ada sejak dulu, namun dulu sampahnya organik sementara saat ini sampah anorganik diperlakukan dengan perilaku yang sama. Sehingga hal yang seyogyanya dilakukan adalah berhenti menyalahkan pihak lain dan mulai perubahan dari diri sendiri.

Inisiatif khusus atau proyek kolaboratif yang direncanakan sebagai hasil dari pertemuan adalah melaksanakan kegiatan masing-masing dan memberitakan lewat media sehingga memiliki gaung yang lebih luas. Hal tersebut dijelaskan oleh Eko Indra W. yang juga turut menghadiri LGD IKPL Provinsi Bali sebagai Ketua Yayasan Wilwatikta Inovasi Indonesia, yang juga sekaligus pimpinan media Tiga Pilar News (sebagai barometer regulasi publik, berkantor pusat di Jakarta) berkesempatan memberikan peluang-peluang bagi komunitas ini untuk mendapat perhatian dengan jangkauan lebih luas dengan mempublikasikan ke media nasional. 

(I W Darya Kartika, redaktur Tiga Pilar News Bali)


0 Komentar