Sabtu, 14 Oktober 2017 13:01 WIB

Polri Diminta Tindak Tegas ke Anggotanya Lakukan Kekerasan

Editor : Rajaman
Ketua Presidium Ind Police Watch, Neta S Pane.(ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menyatakan pihaknya ‎memantau kasus penyiksaan masih terjadi dalam proses penegakan hukum yang dilakukan Polri, meskipun Polri sudah mencanangkan diri sebagai polisi sipil yang profesional warnai represif masih kerap mewarnai Polri seperti data diungkap oleh ‎Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang mengungkapkan dalam periode 2010 hingga 2017.

Salah satu contoh ‎kasus polisi tembak polisi adalah salah indikasi Polri masih diwarnai kekerasan dan sikap represif. 

"Dalam menghadapi rekan sejawat dan mitra kerjanya saja oknum polisi itu tega main tembak. Bagaimana lagi dalam menghadapi masyarakat yang tidak dikenalnya. Jadi data KontraS itu adalah sebuah fakta yang perlu dicermati elit kepolisian untuk kemudian mengevaluasi sikap, perilaku dan kinerja jajarannya," ungkap Neta dalam keterangan pers, Sabtu (14/10/2017).

Menurut Neta, Propam Polri harus bekerja keras dan tegas agar aksi-aksi penyiksaan yang dilakukan anggota Polri tidak terjadi. 

"Hukuman yang berat seperti pemecatan dan membawa anggota polisi ke pengadilan jika melakukan penyiksaan adalah bagian dari sikap tegas agar kasus serupa tidak terulang," katanya.

Dia menambahkan, ‎selama ini institusi kepolisian cenderung memanjakan dan melindungi anggotanya yang melakukan penyiksaan maupun kejahatan. Sehingga, tidak ada efek jera. Polisi-polisi bermasalah itu hanya dilakukan pembinaan dan bukan dijatuhi hukuman berat dengan proses peradilan. Bahkan polisi yang terlibat narkoba pun hanya dibina. Bukan diproses ke pengadilan. 

"Bandingkan jika masyarakat yang melakukannya, meski barang buktinya sedikit tetap saja hukumannya berat. Sikap tidak adil inilah yang kerap membuat aksi kekerasan, aksi penyiksaan dan aksi kriminal kerap berulang di lingkungan kepolisian," sesalnya.

Sebelumnya, Berdasarkan dokumentasi Kontras, pelaku penyiksaan paling banyak berasal dari institusi Polri. Sementara korbannya adalah masyarakat kelas menengah ke bawah, yang sulit mengakses informasi terkait bantun hukum.

Periode 2010 hingga 2011, Kontras mencatat ada 28 kasus penyiksaan. Jumlahnya bertambah menjadi 86 kasus pada 2012.‎ Jumlah kasus penyiksaan sempat menurun menjadi 84 kasus pada periode 2014 hingga 2015. Hal itu disebabkan oleh isu kampanye pilpres yang tinggi sehingga Kontras kesulitan untuk mendokumentasikan kasus penyiksaan yang terjadi.

Setelah itu, jumlah kasus penyiksaan meningkat drastis pada periode 2015 sampai 2016 yakni sebanyak 134 kasus dan periode 2016 sampai 2017 sebanyak 163 kasus.

Mereka yang menjadi korban rata-rata adalah warga sipil yang diindikasi terlibat dalam tindak kriminal. Praktik penyiksaan yang dilakukan biasanya bertujuan agar korban mengakui perbuatannya atau menggali informasi.

Berdasarkan laporan Kontras pada periode Juni 2016 sampai Mei 2017 kasus penyiksaan banyak terjadi di ruang tahanan Polres, yakni 32 kasus dan ruang tahanan Polda sebanyak delapan kasus.


0 Komentar