Sabtu, 20 Agustus 2016 08:16 WIB

KPK Akan Bahas Hukuman Mati untuk Koruptor

Editor : Yusuf Ibrahim
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Pimpinan dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi‎ (KPK) segera melakukan diskusi terkait upaya penerapan tuntutan pidana hukuman mati terhadap terdakwa kasus korupsi.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengakui pidana hukuman mati terhadap terdakwa kasus korupsi sudah diatur dalam ‎Pasal 2 ayat 2 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Hukuman mati, tutur Alexander, merupakan penerapan lanjutan dari perbuatan korupsi dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga mengakibatkan kerugian negara dalam pengadaan barang/jasa sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1.

Pidana mati bisa dijatuhkan dalam keadaan tertentu. Artinya menurut Alexander, penerapan pidana hukuman mati sangat memungkinkan diterapkan KPK.

"Ya kan itu dimungkinkan sesuai dengan UU Pemberantasan Tipikor kan. Kita (pimpinan) tentu mesti diskusikan dengan jaksa penuntut dulu tentang penerapan hukuman mati itu. Karena ada syarat-syaratnya," kata Alexander di Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (19/08/2016) sore.

Mantan hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta ini menuturkan, berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat 2 ada empat syarat untuk menerapkan pidana hukuman mati.

Empat syarat tersebut bisa dirujuk oleh penegak hukum termasuk KPK dan hakim di pengadilan. Tetapi hingga kini, sepengetahuan Alexander belum pernah ada pengadilan yang menjatuhkan pidana mati bagi pelaku korupsi.

"Meski dimungkinkan sebenarnya dihukum dengan pidana paling maksimal, seumur hidup itu lebih menyengsarakan. Apalagi ditambah rampas aset-aset kekayaannya," tuturnya.

Dia menjelaskan tentang salah satu perbuatan korupsi yang dinyatakan dapat dijerat hukuman mati, yakni perbuatan korupsi dilakukan secara berulang.

Namun, kata dia, perbuatan itu bukan dalam kurun waktu secara berlanjut dan dalam banyak kasus. Tetapi, perbuatan berulang adalah setelah seorang pelaku korupsi divonis terbukti di pengadilan dan kemudian kembali melakukan pidana korupsi.

"Konteks perbuatan berulang seperti itu. Makanya harus dilihat dulu, dikaji," tandas Alexander.

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat 2 tertuang bahwa yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan tersebut dimaksudkan sebagai pemberatan pelaku tipikor apabila korupsinya dilakukan dengan empat syarat.

Pertama, pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku. Kedua, pada waktu terjadi bencana alam nasional. Ketiga, perbuatan korupsi yang berulang-ulang. Keempat, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.‎(exe/ist)
0 Komentar