Selasa, 06 Juni 2017 18:31 WIB

Setara Institute: Pastikan Pelibatan TNI Tak Langgar Konsitusi

Editor : Rajaman
Ilustrasi latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) TNI. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Ketua Setara Institute, Hendardi mengingatkan Presiden Jokowi agar memastikan keinginannya melibatkan TNI dalam pemberantasan terorisme secara permanen melalui RUU Antiterorisme, tidak bertentangan dengan Konstitusi RI dan sejumlah peraturan perundangan lainnya.

"Presiden Jokowi harus jernih menangkap aspirasi banyak pihak yang menghendaki pelibatan TNI sebagai bagian dari ekspresi politik TNI dalam kancah politik nasional. Meskipun tindakan terorisme membahayakan keamanan warga, tetapi tindakan terorisme adalah 'one time event' yang hingga kini belum bisa dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara," kata Hendardi dalam keterangan pers, selasa (6/6/2017).

Lebih lanjut Hendardi menegaskan  Presiden sebagai Panglima Tertinggi, kapan pun bisa menggunakan TNI untuk terlibat, khususnya pada penanganan aksi-aksi terorisme di wilayah-wilayah tidak bisa dijangkau oleh Polri.

Menurut Hendardi, dukungan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme melalui revisi UU 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme menunjukkan banyak pihak  historis dengan regulasi TNI dan praktik pemberantasan terorisme yang selama ini dijalankan.

Hendardi menjelaskam Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU 34 Tahun 2004 tentang TNI, sesungguhnya telah mengatur bahwa TNI memiliki tugas memberantas terorisme sebagai salah satu dari 14 tugas operasi militer selain perang (OMSP).

Dengan demikian, tambahnya, tanpa mempertegas pengaturan peran TNI dalam RUU Antiterorisme yang sedang dirancang DPR dan pemerintah, TNI sudah mengemban mandat tersebut.

"Buktinya, dalam beberapa operasi di mana Polri memerlukan bantuan TNI, dua institusi ini mampu bekerja profesional dan efektif," kata Hendardi.

Menurut Hendardi, mempertegas peran TNI dalam RUU Antiterorisme justru akan bertentangan dengan Pasal 7 UU 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang mengharuskan adanya kebijakan dan keputusan politik negara dalam melibatkan TNI pada OMSP, termasuk dalam soal terorisme.

Keharusan adanya kebijakan dan keputusan politik negara tersebut, tambah Hendardi, merupakan konsekuensi prinsip supremasi sipil (civilian supremacy) dalam negara demokrasi, dimana Panglima Tertinggi TNI adalah otoritas sipil, yakni Presiden. Sebagai sebuah kebijakan dan keputusan politik negara, maka OMSP, termasuk dalam memberantas terorisme adalah keputusan ad hoc dan temporer oleh suatu situasi darurat dimana terorisme dianggap mengancam kedaulatan negara.

"Jika pelibatan TNI dipermanenkan dalam RUU Antiterorisme, sama artinya menyerahkan otoritas sipil pada militer untuk waktu yang tidak terbatas, karena itu bertentangan dengan prinsip supremasi sipil," kata Hendardi Menurut Hendardi, pelibatan TNI secara eksplisit harus ditolak dengan alasan: pertama, merusak sistem peradilan pidana.

"Terorisme adalah 'crime' yang harus diatasi dengan pendekatan hukum yang selama ini terbukti mampu mengurai jejaring terorisme dan mencegah puluhan rencana aksi terorisme," kata Hendardi.

Alasan kedua, keterlibatan TNI akan memperlemah akseptabilitas dan akuntabilitas kinerja pemberantasan terorisme, karena TNI tidak tunduk dan bukan aktor dalam sistem peradilan pidana terpadu.

"Tidak ada hak uji (habeas corpus) atas tindakan paksa yang dilakukan oleh TNI. Jika ini terjadi akan membahayakan demokrasi, HAM dan profesionalitas TNI itu sendiri," katanya.


0 Komentar