Kamis, 08 Juni 2017 13:26 WIB

KPK Periksa Delapan Saksi Penyidikan e-KTP

Editor : Sandi T
Jubir KPK Febri Diansyah (ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa delapan saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi proyek e-KTP.

"Delapan orang saksi itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus (AA)," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di Jakarta, Kamis (8/6/2017).

Delapan saksi yang dijadwalkan diperiksa yaitu Direktur PT Rudo Indovalas Dunia Oei Tjien Hiap, Direktur PT Purosani Sri Persada Willian Shane Tan, Direktur PT Erakomp Infonusa Ferry Tan, dan Direktur PT Intraska Cipta Utama Christina Wijaya.

Selanjutnya dua wiraswasta masing-masing Andaka Narjadin dan Tjhin Setiadi Sutanto, mantan Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI M Rukyat Nur, dan seorang ibu rumah tangga Nuryati Tanuwidjaja.

Sebelumnya, pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong mengakui memberikan 1,5 juta dolar AS (sekitar Rp18 miliar) ke mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dalam pengadaan e-KTP.

"Pada Februari 2011 saya diminta datang ke ruangan Pak Sugiharto lalu saya diantar ke ruangan Pak Irman. Pak Irman minta sejumlah uang untuk operasional dan saya menyanggupi untuk memberikannya melalui Pak Sugiharto," kata Andi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (29/5/2017).

Andi menjadi saksi untuk dua orang terdakwa yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

"Saya berikan 500 ribu dolar AS di Cibubur Junction bulan Februari, 400 ribu AS di Holland Bakery di Kampung Melayu pada Maret 2011, 400 ribu dolar AS di SPBU Bangka di Kemang bulan Maret dan 200 ribu dolar AS di SPBU AURI Pancoran pada April. Maksud saya memberikan uang adalah agar siapapun pemenang tender, saya dapat subkontrak yang direkomendasikan Pak Irman," tambah Andi.

Andi melalui perusahaannya PT Cahaya Wijaya Kusuma mengaku ingin masuk dalam konsorsium PNRI yang saat itu mengikuti tender lelang e-KTP. Namun, PT Cahaya tidak jadi ikut konsorisum karena tidak punya Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal) dan tidak ada izin "security printing".

Apalagi saat pengumuman pemenang lelang pada Juni 2011, konsorsium PNRI tidak diberikan uang muka oleh Kemendagri untuk mengerjakan lelang sehingga kesulitan permodalan dan Andi pun mengaku tidak mendapatkan proyek apapun dari e-KTP.

"Saya menyesal berikan uang ke Pak Irman, saya akui saya salah secara hukum karena demi pekerjaan," ungkap Andi.

Hal yang aneh, Andi mengaku uang 1,5 juta dolar itu dianggap Andi hanya sebagai risiko bisnis.

"Uang yang sudah diberikan ke Pak Irman 1,5 juta dolar AS tidak pernah kembali. Itu saya anggap risiko, saya pengusaha karena usaha bisa gagal bisa berhasil saya berpikir ke depan saja, saya pikir kelak akan dapat pekerjaan dari sana," jelas Andi.

Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus, mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golangan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut.

Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sedangkan Markus Nari disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

sumber: antara


0 Komentar