Selasa, 06 September 2022 16:01 WIB

Kemenkes Dorong Penelitian dan Pengembangan Hingga Bisnis Obat Herbal

Editor : Yusuf Ibrahim
Ilustrasi racikan obar herbal. (foto istimewa)

JAKARTA, tTigapilarnews.com- Banyak dari masyarakat Indonesia yang kurang begitu yakin dengan obat kimia. Di sisi lain, pemanfaatan obat herbal atau fitofarmaka di Indonesia juga masih belum begitu besar.

Hal tersebut terlihat dari data Kementerian Kesehatan yang menunjukkan bahwa hanya 1,2 hingga 3 persen dokter di Indonesia yang meresepkan fitofarmaka di rumah sakit. Sementara, bahan herbal terhampar luas di Tanah Air.

Bahkan, menurut Dirjen Farmalkes Kemenkes, Lucia Rizka Andalusia, obat herbal menjadi fokus para peneliti dan industri di dunia, termasuk negara-negara G20 saat ini. Ya, sekarang semakin banyak negara yang mengakui peran jamu atau obat herbal dalam sistem kesehatan nasional mereka.

"China misalnya, penggunaan obat herbal di sana sudah mapan untuk tujuan kesehatan. Lalu Jepang, 50-70% jamu telah diresepkan di rumah sakit," ujar Lucia dalam Webinar T20: Green Pharmacy's Role in Supporting Global Health Architecture secara virtual, Selasa (6/9/2022).

Selain itu, Kantor Regional Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk Amerika (AMOR/PAHO) melaporkan bahwa 71 persen penduduk Chili dan 40 persen penduduk Kolombia menggunakan obat tradisional. Bahkan, di negara maju pun obat herbal semakin populer sekarang.

"Misalnya di Prancis, penggunaan jamu oleh penduduk di sana mencapai 49%, Kanada 70%, Inggris 40%, dan Amerika Serikat 42%," beber Lucia.

Sudah masifnya penggunaan obat tradisional di negara-negara tersebut perlu dipelajari oleh bangsa Indonesia. Sekalipun, masih banyak hambatan yang perlu dilalui untuk bisa memaksimalkan fitofarmaka di Indonesia.

Lucia menjelaskan, di Indonesia hambatan yang masih mengganjal dalam pemanfaatan fitofarmaka adalah kurangnya penelitian karena kesulitan dukungan keuangan untuk penelitian obat herbal tersebut.

Selain itu, kurangnya kemauan politik dan kapasitas untuk memantau keamanan produk obat herbal, sistem informasi dan analisis yang belum cukup memadai, serta integrasi obat herbal di dalam sistem kesehatan nasional.

Kendati demikian, masalah tersebut coba diatasi Kemenkes dengan terus mendorong dilakukannya penelitian dan pengembangan obat herbal sehingga fitofarmaka dipastikan sesuai dengan standar kualitas produksi. Kemudian, Kemenkes juga mendukung UKM mengembangkan bisnis dan pasar dari fitofarmaka ini.

"Bahkan, Kemenkes telah menyediakan Formularium Fitofarmaka yang diluncurkan pada semester pertama tahun ini. Kemudian, pemerintah juga sudah menyediakan dana alokasi khusus bagi Pemda untuk menggunakan produk lokal," ungkap Lucia.

"Dengan begitu, kami berharap bahwa obat herbal atau fitofarmaka akan semakin banyak diresepkan dokter di rumah sakit, seperti yang dilakukan negara-negara yang sudah lebih dulu melakukannya," katanya lagi.

Pada kesempatan yang sama, Director of Research & Business Development Dexa Group, Raymond Tjandrawinata menganggap pemanfaatan obat herbal untuk sistem kesehatan nasional dianggap perlu dilakukan, terlebih produksi obat kimia terbukti membawa dampak yang kurang baik bagi lingkungan.

Sekalipun obat kimia itu sendiri memberikan manfaat yang baik bagi kesehatan manusia. "Ini yang perlu kita perhatikan bahwa farmasi memang sangat bermanfaat, tapi ada risiko cemaran lingkungan karena produksi dan konsumsinya," tambah Raymond.

Sementara itu, Lead Co-Chair T20 indonesia, Prof. Bambang Brodjonegoro mendorong sekali Indonesia untuk menjadi panutan dalam pengembangan fitofarmaka sebagai gerakan Green Pharmacy.

"Ini merupakan masa depan yang menjanjikan bagi kemandirian serta ketahanan kesehatan Indonesia khususnya, pun bagi negara-negara yang memiliki kapabilitas produksi produk kesehatan yang terbatas dan angka impor yang tinggi," tutur Prof. Bambang.(dan)


0 Komentar