Kamis, 02 November 2023 18:48 WIB

Benarkah Jokowi Terjebak ‘Toxic Relationship’? Psikolog: Ada Rekan yang Ingin Kekuasaan

Editor : Yusuf Ibrahim
Jokowi bersama keluarga. (foto istimewa)
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Presiden Joko Widodo dinilai sedang dalam lingkaran yang membentuk budaya toxic relationship. Sebelumnya, Politikus PDI Perjuangan, Aria Bima menyebut kalau hal tersebut ada pada langkah Jokowi memajukan Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo.
 
Menanggapi pernyataan tersebut, Psikolog Universitas Bhayangkara, Hanna Rahmi, juga menyatakan kalau sikap Jokowi telah menggambarkan adanya toxic relationship di dalam pemerintahan. Ia menyebut bahwa toxic relationship pada dasarnya adalah kegiatan untuk saling mempengaruhi. 
 
Dan untuk dunia politik, sebutan toxic relationship lebih berkaitan pada proses di mana kekuasaan diambil dan digunakan dalam masyarakat. Maka dari itu, keputusan presiden untuk mendorong anaknya menjadi pemimpin Indonesia pun disebut Hanna sebagai satu tindakan yang memaksakan situasi. “Kondisi kerja yang toksik mendorong Jokowi untuk bertanggung jawab atas keadaan tersebut,” ucap Hanna.
 
Hanna menganggap Jokowi telah melupakan prinsip moral dan etika politik sesungguhnya karena terlalu dalam berada dalam jebakan toxic relationship. Ia menggambarkan bagaimana tindakan melawan hal-hal yang dianggap tidak etis oleh masyarakat dari Jokowi sebagai bukti lain dari adanya paparan keburukan yang diterima presiden dari lingkungannya saat ini.
 
“Dalam psikologi, toksisitas di lingkungan kerja biasanya merujuk pada situasi di mana kondisi psikologis atau emosional seseorang terpengaruh secara negatif oleh faktor-faktor tertentu di lingkungan kerja,” jelas Hanna.
 
Dan psikolog tersebut juga menerangkan bahwa toxic relationship dalam sebuah organisasi bisa dilihat dari bagaimana penyalahgunaan kekuasaan melalui orang-orang yang dekat dengan pemimpinnya. Dari situ dapat dilihat, siapa dan apa tujuannya untuk membuat pemimpin bisa larut dalam toxic relationship.
 
“Kekuasaan dapat memengaruhi cara seseorang berperilaku dan mengambil keputusan. Orang yang memiliki kekuasaan sering mengambil keputusan yang menguntungkan posisi mereka,” pungkas Hanna.

0 Komentar