6 jam yang lalu
JAKARTA, TIGAPILARNEWS.COM- Kebijakan baru pemerintah Amerika Serikat (AS) yang menetapkan tarif 19% untuk produk ekspor Indonesia berpotensi memicu kenaikan harga BBM dan pangan di dalam negeri.
Kebijakan ini dinilai timpang karena AS justru mendapat fasilitas tarif 0% untuk produk-produknya ke Indonesia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan, meskipun beberapa komoditas ekspor seperti alas kaki, pakaian jadi, CPO, dan karet mendapat penurunan tarif dari 32% menjadi 19%, hasil negosiasi ini belum optimal.
"Vietnam berhasil menurunkan tarif dari 46% menjadi 20%. Ini menunjukkan diplomasi dagang kita masih perlu ditingkatkan," ujar Bhima, saat dihubungi Rabu (16/7).
Kebijakan tersebut berpotensi meningkatkan volume impor produk AS secara signifikan, terutama di sektor migas, elektronik, suku cadang pesawat, gandum, dan farmasi.
Data menunjukkan nilai impor lima komoditas ini pada 2024 mencapai USD5,37 miliar atau setara Rp87,3 triliun. "Yang paling mengkhawatirkan adalah dampaknya terhadap defisit migas dan nilai tukar rupiah," tegas Bhima.
Dia memprediksi beban subsidi energi akan membengkak dari alokasi awal Rp203,4 triliun di RAPBN 2026 menjadi Rp300-Rp320 triliun akibat ketergantungan impor BBM dan LPG. Krisis energi ini diperparah dengan kekhawatiran Indonesia akan terpaksa membeli migas dari AS dengan harga di atas pasar.
"Ini momentum tepat untuk mempercepat transisi energi dan mengurangi ketergantungan pada fosil," saran Bhima.
Di sektor pangan, tarif 0% untuk gandum AS berpotensi menekan harga produk turunannya seperti mi instan dan roti. Namun di sisi lain, petani dan produsen pangan lokal akan kesulitan bersaing.
"Konsumen mungkin senang harga turun, tapi industri lokal yang terancam," papar Bhima. Sebagai solusi, Bhima mendorong pemerintah memanfaatkan perjanjian dagang dengan Uni Eropa (IEU-CEPA) yang baru disahkan. "Kita perlu diversifikasi pasar agar tidak terlalu bergantung pada AS," tegasnya.(des)