Sabtu, 23 November 2019 03:51 WIB

Suparji Achmad: Seharusnya Mudah Bagi Negara Kembalikan Aset First Travel Kepada Jamaah

Editor : Rajaman
ilustrasi kasus first travel (ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menyerahkan seluruh aset First Travel kepada negara tertuang dalam Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018. Putusan yang menjadi polemik di masyarakat itu baru dilansir di situs MA pada Jumat (15/11/2019) lalu. 

Dalam putusan itu, MA menguatkan putusan Pengadilan Negeri Depok yang memvonis tiga bos First Travel Andika Surrachman, Aniessa Hasibuan dan Kiki Hasibuan, bersalah dalam kasus penipuan umrah First Travel. Ketiga orang dianggap menipu dan menggelapkan uang 63.310 calon jemaah umrah dengan total kerugian mencapai Rp905 miliar. 

Pengadilan Negeri Depok memvonis Andika dengan 20 tahun penjara, Anniesa Hasibuan 18 tahun penjara, dan Kiki Hasibuan 15 tahun penjara. Namun, putusan menyatakan aset dirampas negara karena pelapor, yang juga jemaah dalam persidangan, menolak aset diserahkan kepada mereka. 

Dalam pertimbangan, hakim memutus aset dirampas negara sesuai pasal 39 jo pasal 46 jo pasal 194 KUHP. Tidak terima putusan, Andika mengajukan banding dan kasasi. Jaksa juga mengajukan banding agar aset dikembalikan ke jemaah. Namun, majelis hakim kasasi yang dipimpin Andi Samsam Nganro meyakini putusan Pengadilan Negeri Depok sudah benar. 

Kejaksaan sudah mengeksekusi putusan MA. Terpidana Andika Surrachman dieksekusi ke Lapas Gunung Sindur sementara Anniesa dan Kiki Hasibuan dieksekusi ke Lapas Sukamiskin. Akan tetapi, kejaksaan belum mengeksekusi aset karena kesulitan eksekusi putusan yang menyatakan aset dirampas negara.

Ahli hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad, mengatakan silang pendapat terkait putusan kasasi MA dalam perkara First Travel butuh solusi. Rencana Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengambil terobosan dengan melakukan Peninjauan Kembali (PK) dari putusan kasasi MA itu kata Suparji patut diapresiasi. 

"Itu merupakan salah satu bentuk progresivitas dari Jaksa Agung. Sebab, kita tidak hanya bicara aspek kepastian dalam proses penegakan hukum. Keadilan juga menjadi faktor utama," ujar Suparji Achmad di Jakarta, Jumat (22/11/2019). 

Untuk mencari keadilan itu, lanjut Suparji hukum progresif yang diimplementasikan aparat penegak hukum, salah satunya jaksa, menjadi patut dilakukan. "Namun, apakah itu nanti juga mendapatkan kemudahan atau jalan di tingkat MA? Tentu itu akan menjadi persoalan yang mendasar," katanya. 

Secara teoritis, papar Suparji, upaya PK harus memenuhi tiga alasan mendasar. Yaitu, adanya novum atau bukti baru yang belum pernah diajukan dalam persidangan-persidangan sebelumnya, ada faktor kekeliruan dan kekhilafan hakim dalam memutus, atau ada faktor putusan yang saling bertentangan antara satu dan yang lainnya.

Artinya, tambah Suparji, upaya untuk mendapatkan keadilan melalui PK tersebut akan mendapatkan persoalan. "Jika Kejaksaan Agung (Kejagung) tetap mengajukan PK, itu berarti mereka sedang menabrak aturan lain. Yakni, putusan MK yang menyatakan bahwa jaksa tidak diperkenankan melakukan PK," ungkapnya. 

Walau progresif, menurut Suparji upaya tersebut berisiko. Ia juga berpandangan bahwa ada terobosan lain yang juga progresif dan bisa dilakukan. Misalnya, Kejagung mengeksekusi putusan MA sesuai ketentuan yang berlaku. Kemudian, aset First Travel yang sudah disita dan masuk kas negara dikembalikan kepada para jamaah.

Pengembaliannya bisa dilakukan melalui mekanisme tertentu yang diputuskan pemerintah. Negaralah yang membagikan. Sebab, kalau diamati, mengapa hakim memutus aset First Travel disita negara? Padahal, tuntutan jaksa adalah meminta dikembalikan kepada yang berhak. 

"Alasannya, hakim mempertimbangkan, jika itu dibagikan langsung, akan jadi masalah. Bisa jadi, jamaah rebutan. Atau, malah ada yang tidak mendapat hak mereka. Dan, konon, ada sebagian pihak di antara para jamaah itu yang tidak mau menerima pembagian tersebut. Menilai secara teknis pembagian akan sulit dilaksanakan. Di situlah negara perlu hadir. Mendistribusikan hak-hak jamaahnya," paparnya. 

Suparji menandaskan seharusnya tidak terlalu sulit bagi negara untuk membagikan aset First Travel kepada para jamaah. Tentu dengan cara yang tepat serta pendataan akurat. Langkah itu mirip dengan kebijakan pemerintah ketika lumpur panas menimbun rumah-rumah milik warga di Sidoarjo, Jawa Timur, yang kemudian dikenal dengan lumpur Lapindo.

"Itu sebuah kebijakan. Tinggal kemauan dari negara, kemauan dari pemerintah, atau penyelenggara negara. Apalagi, bagi para jamaah, selain mendapat keadilan, yang penting adalah mereka bisa berangkat umrah. Bagaimana ada peran negara untuk memberangkatkan mereka umrah dengan hasil uang yang disita itu," pungkasnya.


0 Komentar